Oleh Anand Krishna
“Saya telah berpergiaan keliling India dan tak pernah melihat satupun pengemis atau pencuri. Kekayaan semacam itu saya saksikan di seantero negara ini. Nilai moral, orang sekaliber tersebut, saya tak pernah berpikir bahwa kami dapat menjajah negara ini, kalau kami tidak mematahkan tulang punggung bangsa ini, yakni warisan spiritual dan budayanya. Oleh sebab itu, saya mengusulkan bahwa kami musti mengganti sistem pendidikan lama dan budaya mereka. Karena jika orang India berpikir bahwa budaya asing dan Inggris lebih baik dan lebih hebat dari budaya mereka sendiri, maka mereka akan kehilangan harga diri dan budaya lokal yang asli. Mereka pasti menjadi apa yang kita inginkan, bangsa yang sungguh terjajah.”
Itulah kata-kata Tuan Thomas Babington Macaulay (1800-1859), anggota dewan pemerintahan dari Perusahaan India Timur pada tahun 1834-1838, dikutip dari pidatonya yang diberikan pada tanggal 2 Februari 1835. Membaca kata-kata itu hampir dua abad silam, saya menyadari bahwa Tuan Macaulay belum mati. Oleh karena itu, saya memakai istilah ‘sekarang’ dan bukan ‘dulu’. Idenya tetap hidup. Dia masih mempunyai banyak pengikut di seluruh dunia. Sahabat baik saya mengatakan pada saya bahwa sebenarnya apa yang disebut negara jajahan India di bawah kekuasaan Inggris lahir pada 1835 itu dan Tuan Macaulay memainkan peran sebagai bidannya. Macaulay menyerang fondasi utama peradaban India masa silam, dan ia berhasil. Berapa dari kita di Indonesia menyadari bahwa hal yang sama tengah terjadi pada kita di zaman modern ini? Kita tak hanya dikepung oleh satu atau dua, tapi begitu banyak Macaulay. Satu perbedaannya: Macaulay yang kondang atau tak terkenal tersebut berkebangsaan Inggris, putih, sehingga begitu mudah dikenali. Sekarang, genre Macaulay datang dalam pelbagai warna dan bentuk, putih, coklat, merah dan bahkan hitam.
Dan, mereka mencabut akar budaya kita dan peradaban leluhur dari segala sudut. Salah satu dari mereka, kaum wahabi, yang didukung oleh Kerajaan Saudi, telah secara intensif menyusupi masyarakat dan sistem sosial kita, sampai-sampai saat ini kita bingung dan tak bisa membedakan mana nilai spiritualitas agama dan mana yang radikalisme agama. Beberapa menteri, pejabat tinggi bahkan aparat militer dan partai politik di "pakai" sebagai agen mereka untuk menghancurkan kita dari dalam.
Mereka begitu panik dan tak akan meninggalkan satu batupun tetap pada tempatnya untuk memastikan bahwa mereka telah mendominasi negara seperti kita.
Saya mempunyai seorang teman dari Timur tengah, yang sepupunya seorang Mufty, atau Ketua Mahelis Ulama di salah satu negara di sana. Ia mengomentari kejadian dan diskursus yang beredar di negara kita - dari fatwa yang dikeluarkan MUI sampai pada meningkatnya radikalisme dan indoktrinasi agama terhadap anak-anak kita - teman saya dari Arab itu berkata:
“Penting (bagi) mu (untuk) mengetahui kemunafikan dari masyarakat yang terbelakang di mana kita tinggal. Saya menyaksikan sendiri saat tinggal di Indonesia lebih banyak di antara kalian yang toleran, mau menerima orang lain, tulus, apresiatif terhadap alam dan lingkungan, di sini di (Timur) Tengah saya merasa tepat berkebalikan dengan kutub duniamu! Itulah sebabnya saya terus-menerus mengulangi betapa pentingnya untuk tetap melestarikan budayamu, alam dan nilai-nilai tersebut.”
Sayang, nilai-nilai budaya tersebut kini dianggap “tidak sejalan dengan agama.” Menariknya dan kebetulan sekali, orang yang mengatakan hal itu begitu takut terhadap pemerintahan kita saat ini, padahal faktanya lembaga mereka didanai oleh negara dengan uang para pembayar pajak.
Baru-baru ini, Pangeran Hassan Bin Talal dari Yordania di Islamabad mengatakan: “Di masa depan kekuatan besar dunia akan berasal dari Asia, jadi kekuatan yang berkuasa saat ini akan melakukan sebaik-baiknya investasi pada orang-orang di Timur Tengah untuk memastikan bahwa dunia baru itu tak membawa dengannya masalah-masalah dari yang lama.”
Orang Arab seperti Pangeran Hassan dan kutipan teman saya di atas bisa dihitung dengan jari. Tapi mereka semua menyadari bahwa mereka hidup di tengan masyarakat yang sakit, dan kita orang Indonesia sedang "mengimpor" penyakit mereka. Kita menerima semua jenis virus mematikan yang diekspor oleh mereka.
Dalam sebuah e-mail untuk seorang teman, Aktivis Muslim Indonesia, sebuah nama yang amat diperhitungkan, teman Arab saya tadi menambahkan hal ini pada pernyataan Pangeran Hassan: “Itulah tepatnya yang saya sangat kwatirkan tentang kapan kita bisa membicarakan tentang gelombang (kata dihilangkan) dan (kata dihilangkan) impor kelakuan bodoh lainnya berupa intoleransi, kepicikan pikiran!”
“KAMU HARUS MEMUTUSKAN ISLAM MACAM APA YANG SESUAI BAGIMU. KAMU MUSTI MEMPENGARUHI DUNIA MUSLIM LAMA DENGAN NILAI-NILAIMU DAN TRADISI TOLERANSI, PENERIMAAN TERHADAP YANG LAIN, KERENDAHAN HATI DAN KESEDERHANAAN.”
Huruf besar bukan “improvisasi" saya.”Saya mengutip e-mail seperti yang tertulis. Saya menghapus 2 kata, yang saya tahu akan diprotes secara keras oleh kepicikan pikiran “kita”, yang mengidentifikasi agama dengan atribut-atribut luaran.
Indonesia cepat menjadi negara yang “terjajah” secara budaya, dan masyarakat kita terpecah-belah karenanya. Budaya Saudi, ideoogi wahabi dan tradisi Arabia, yang tak sejalan dengan budaya kita sendiri akan mendominasi dalam skala besar. Dan, sang penjajah tentu menarik keuntungan dari penjajahan semacam itu.
Saya harus mengulangi sekali lagi bahwa Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya kurang dari 100 tahun lagi akan kehabisan sumber daya minyak mereka dan sekarang mereka dihadapkan pada kemungkinan kerusuhan sosial karena menipisnya bahan pangan dan air minum.
No comments:
Post a Comment