04 July 2010

Sesaat Ada Sesaat Tiada dalam Ombak Kehidupan


Untuk seorang sahabat yang telah mendahului pergi,
Baru satu hari berselang, tadi malam ia masih duduk-duduk disampingku, ia masih sempat berbicara sepatah dua patah kata. Tidak ada sesuatu yang terlihat aneh, hanya sewaktu akan pulang dari tempat kerja, aku sempat memperhatikan sekujur tubuhnya, dari wajah hingga ujung kaki. Ada sesuatu yang lain yang aku rasakan, sesuatu yang tidak dapat diceritakan, namun dapat kurasakan.

Malam beranjak menyambut pagi, hari nampak lengang seperti biasa. Namun tiba-tiba, titt.... tit... tit, Ponsel di meja samping tempat tidurku berbunyi, sebuah pesan singkat elektronik kuterima .... Ada khabar, bahwa teman kita telah berpulang tadi malam karena kecelakaan, sewaktu perjalanan pulang ke rumah, pulang dari kerja. Aah aku sungguh tak percaya hal itu terjadi, namun setelah kukonfirmasi kebeberapa teman ternyata betul, peristiwa naas itu benar-benar tejadi.

Dia masih muda, gagah, dan umurnya paling terpaut sedikit denganku, dia pergi dengan meninggalkan seorang istri dan seorang anak yang masih mungil. Beberapa hari sebelum kepergiaannya ia nampak tidak meninggalkan pesan apapun, hanya kulihat ia terlihat santai, dan sering berebahan untuk tiduran, ketika berada dekat dengan teman-temannya. Dan sempat berbicara nylemong bahwa segala sesuatunya sebaiknya dilakukan santai saja. Demikai kata-kata terakhir yang sempat ia ucapkan.


Demikiankah cetak biru kehidupan, kedatangan dan kepergian tiada terduga, bagaikan mimpi sesaat ada sesaat tiada, kematian datang tak mengenal kompromi. Aaah teringat petuah para leluhur dalam uraian agung Dummapada :


Bahwa seseorang yang menyadari bahwa raga ini ibarat segumpalan busa, dan setelah mempelajari bahwa ia juga tidak nyata ibarat fatamorgana, maka ia akan mematahkan panah sang Mara yang berujung bunga, dan tidak akan menemui kematian lagi. Kematian ibarat daun pintu yang mengantar kepada pemahaman kehidupan yang lebih luas. Pemahaman yang melampaui sekat-sekat penjara tubuh fisik. Kematian hanya akan menyeret jiwa-jiwa yang terlalu sibuk mengumpulkan berbagai bunga pikiran yang kesana-kemari, ibarat air bah yang menghayutkan sebuah desa yang penduduknya sedang tertidur.

Semerbaknya berbagai bunga-bunga tak dapat tersebar melawan arus angin, begitu juga dengan semerbak wanginya bunga cendana, mawar maupun melati. namun keharuman seorang yang baik mampu menyebar melawan arus angin, ia akan dikenal di mana saja. Seandainya seseorang hidup seratus tahun, namun berkelakuan buruk dan tidak terkendali, lebih bermakna kehidupan seseorang yang bersikap baik dan penuh interopeksi diri selama sehari.

Seseorang yang hidup seratus tahun, namun diliputi kebodohan dan tidak disiplin kelakuannya, maka lebih baik kehidupan seseorang yang bijaksana tetapi mawas diri walaupun hanya sehari. Seseorang yang hidup seratus tahun, lemah dan tidak mampu berkarya, maka lebih baik hidup seseorang sehari namun penuh dengan kekuatan yang teguh.

Seseorang yang hidup seratus tahun, dan tidak melihat permulaan maupun akhir, maka kehidupan sehari adalah lebih baik seandainya ia melihat permulaan dan akhir. Seseorang hidup seratus tahun tanpa menyaksikan tempat yang abadi, maka kehidupan sehari dari pada seseorang yang telah melihat tempat abadi ini lebih bermakna dari pada yang pertama. Seandainya seseorang hidup seratus tahun tanpa menyaksikan kebenaran yang tertinggi, maka lebih bermakna adalah kehidupan sehari seseorang yang telah melihat dan menyaksikan kebenaran yang hakiki.


Walau sesaat, walau sesaat pertemuan ini indah, walau sekejab keberadaan-Mu telah menorehkan pelajaran yang mendalam dan berarti akan hakekat kehidupan. Selamat jalan sahabat, lanjutkan perjalanan-Mu. Salam Kasih,

No comments:

>>>

-



-