31 May 2010

Kisah Tentang Roda Pedati


Satu persatu dedaun berguguran, satu persatu daun mengering dan melayang tertiup angin, dan jatuh melebur menyatu dengan tanah. Pohon beringin yang dahulu tumbuh besar dan rindang itu sekarang perlahan-lahan dedaunanya mulai layu, ranting-rantingnya mulai mengering dan lapuk. Kebesarannya sebagai pohon yang di agungkan di tempat itu sekarang perlahan mulai memudar dan sirna.

Demikian yang selalu terjadi dengan kehidupan, perwujudan fisik tak akan bertahan lama, ia akan segera menua dan lenyap di makan waktu. Keberadaannya dalam panggung kehidupan berakhir sesuai dengan masa sewa yang telah diberikan oleh keberadaan kepadanya.

Segala sesuatunya seperti menggelar dan menggulung begitu saja, segala sesuatu tampak lahir, membesar, menyusut dan menghilang begitu saja, segalanya selalu berulang, berulang dan berulang terus tanpa berkesudahan dan batas waktu yang pasti.

Bagaikan siang dan malam, perputaran kelahiran dan kematian terus menjangkau dan memaksa setiap keberadaan anak-anak kehidupan untuk menggelinding dalam permainan agungnya. Bagaikan berputarnya roda pedati, di satu saat ia berada dbawah dan bersentuhan dengan tanah, dengan jalan untuk memberi panjatan bagi beban yang di atasnya agar dapat berputar, berjalan. Di saat yang lain ia akan berada di atas untuk menghimpun tenaga dan melepaskan sisa energi selama ia berada di posisi bawah, demikian yang selalu terjadi, terus menerus dan akhirnya dan akhirnya mampu mengantar penumpang pedati sampai di tempat tujuan. Baru setelah sampai di tujuanlah roda pedati itu akan berhenti untuk berputar, tugasnya untuk menghantar sang majikan didalamnya telah usai, telah selesai.

Alur kehidupan menawarkan seribu janji, seribu pengharapan akan berbagai hasrat dan kebahagian. Ia akan memastikan setiap hasrat yang ada akan terpenuhi pada waktunya. Untuk mendatangkan setiap hasrat itu datang, kita cukup memeliharanya dalam benak secara tulus dan berkelanjutan. Semua hasrat adalah baik adanya. Pemenuhan satu hasrat akan menarik kita kepada hasrat yang lain untuk di penuhi, setiap yang ada adalah bagian utama yang harus ada agar sang jiwa mampu bercermin dengan sempurna dalam keagungannya. Maka memelihara hasrat secara tulus dan tanpa rasa keterikatan adalah dharma nyata sang jiwa yang terbalut daging kehidupan. Karena setiap pemenuhan hasrat adalah anak tangga menuju kedekatan dalam meraih pemaknaan terhadap hakekat jiwanya sang sejati.

Untuk dapat mengetahui dengan pasti apa sebenarnya tujuan hidup yang hakiki, mestinya ada perenungan sejenak, mengapa roda kelahiran dan kematian terus berputar dan kita selau terhanyut di dalamnya. Ya karena keduanya masih bersifat dualitas, energi mereka terus saling mempengaruhi, sehingga memacu setiap hal untuk bergetar dan bereksi. Setiap unsur pertentangan dualitas adalah sumber energi alam raya.

Lalu adakah sesuatu yang melampaui dualitas di alam ini, sesuatu yang melampaui rasa pertentangan, terbebas dari rasa suka dan duka, sedih dan gembira. Kalau tidak ada maka sia-sialah pencarian selam ini?

Ya ada, Guru memberi petunjuk, memberikan jalan agar kita bersantai sejenak dan merenungkan kembali segala langkah yang telah dan akan dilakukan. Sejenak yang bisa berari, sehari, seminggu, sebulan, selama hidup. Sejenak dimana kita mampu menempatkan segala pikiran dan kesadaran terfokus pada satu hal, yaitu ‘saat ini dan di sini’. Di sini di saat ini yang menuntut sang jiwa yang selama ini berkarat dan tertutup debu ketidaksadaran selama ini, dengan mengusahakan datangnya ‘kelahiran kembali’, ‘kelahiran baru’ sang jiwa. Kelahiran yang terjadi selama nafas masih berhembus, dan matinya ‘sang aku’ atau ego dalam saat yang bersamaan.

Maka di saat itu lahirlah manusia baru dengan kesadaran baru, manusia dengan wawasan dan pemahaman baru, manusai yang terbebas dari pengkondisian program masa lalu yang telah usang. Dari sinilah kemudian terjadilah loncatan kuantum dalam pemahaman, yang dulunya mengangap keberadaan diri sebagai diri kecil yang merindukan dunia berubah, menjadi dunia yang sedang bermain dalam diri kecil.

Dan dari titik inilah kemudian, sang diri mulai berproses, dan kemudian, berputaran dualitas yang selama ini membelit dan mencengkeram sang jiwa selama ini akan semakin lama semakin berjalan melambat dan akhirnya terhenti.

Dan kemudian sebuah kehidupan di mulai lagi .........

Satu persatu dedaun berguguran, satu persatu daun mengering dan melayang tertiup angin, dan jatuh melebur menyatu dengan tanah. Pohon beringin yang dahulu tumbuh besar dan rindang itu sekarang perlahan-lahan dedaunanya mulai layu, ranting-rantingnya mulai mengering dan lapuk. Kebesarannya sebagai pohon yang di agungkan di tempat itu sekarang perlahan mulai memudar dan sirna.

Namun demikian kebesaran sang pohon yang selama ini mampu memberikan, perlindungan, dan kehidupan bagi semua kehidupan yang ada di setiap ranting dan daunnya akan memiliki kenangan, kenangan yang indah akan sebuah perjalanan, bahwa dahulu disini, di tempat ini, telah tumbuh dan berdiri kokoh sebuah pohon beringin yang mampu mengundang ribuan burung untuk menyambangi, berteduh, bahkan mereguk madu kasih di setiap dahannya.

Demikian sebatas pemahaman yang mampu dikisahkan.



Terimakasih Guru, Terimakasih Kehidupan.

No comments:

>>>

-



-