02 May 2010

Jangka Jayabaya dan Serat Sabda Jati dalam Tafsir Bebas


Jangka jayabaya, di mata para kaum abangan, ibarat sebuah mata air pengharapan yang tidak lekang tergerus oleh zaman, setiap untaian kata yang terpatri di dalamnya, selalu kental dengan simbol pengharapan akan datangnya suatu perubahan, keindahan rangkaian kata dan keluasan makna yang ada di dalamnya membuatnya abadi. Jangka Jayabaya, sebagai salah satu karya tulis, merupakan karya klasik yang paling monumental dan terkenal sak-antero Nusantara yang pernah di orbitkan oleh leluhur.


Serat Sabda Jati merupakan salah satu karya terkenal dari pujangga besar Ronggowarsito, salah satu pujangga yang keberadaannya terasa sangat erat dengan fenomena jangka Jayabaya. Di banyak buku kita sering mengenali judul – judul yang merekatkan keduanya.

Ada kutipan lama, Pada akhir tahun-tahun 30-an, seseorang lewat setengah umur, penjaja buku-buku dan majalah rajin menyusuri lorong-lorong kota bengawan. Lelaki kurus kecil itu mengenakan baju piyama, destar blangkon dan jaritan. Sembari ngempit daganganya dalam tas kecil kumal dengan santainya ia berteriak dengan gaya surakarta yang kental, dengan setengah nembang jenaka, “ kula sade.... kula sade.....bukunipun raden ngabehi.....ranggawarsita ...... saha serat jaya baya ...... sinten tumbas....sinten tumbas........”

Disini, melalui coretan ini kami ingin mencoba memahaminya sesuai tingkat kesadaran kami, walau nanti mungkin akan terjadi salah pengartian bahasa, tetapi tulisan ini bukan mengenai ketepatan tafsir, tetapi mencoba memahamii makna yang tersirat yang dapat di resapi, tujuannya tak lain demi mengembangkan pemahaman diri si penulis secara pribadi. Keluasaan makna yang diambil sebatas dari sudut pandangnya, sesuatu yang mungkin masih dianggapnya relevan dengan zaman.

Di dalam salah satu pupuh, dari rangkaian tembang Dandanggula, dalam Serat Jayabaya itu ada sebuah syair yang indah, yang sampai sekarang terasa masih samar mengenai makna yang hendak disampaikan.

Pada pupuh III point 21 Serat Jayabaya di tuliskan,

“ Semut ireng ngendog jroning geni,
Ono merak memitran lan baya,
Keyong sak kenong matane,
Tikuse podo ngidung,
Kucing gering kang nunggoni,
Kodok nawu segara,
Holeh banteng sewu,
Precil-precil kang anjaga,
Semut ngangrang angrangsang gunung merapi,
Wit ranti woh delimo”.

Serat Sabdajati point 14

“Waluyaning benjang yen wus ana,
‘Wiku, memuji ngesti sawiji’
Sabuk lebu lir majenun,
Galibedan tudang-tuding,
Anacehken sakkehing uwong.

“Iku lagi sirep jaman kala Bendu,
Kala suba kang gumanti,
Wong cilik bakal gumuyu,
Nora kurang sandang bukti,
Sedyane kabeh kelakon”.


Semut ireng ngendog jroning geni, semut ireng-semut hitam identik dengan kerumunan, dengan berbagai gigitannya menggambarkan suatu perasaan sakit , kesedihan. Ngendog jroning geni, bertempat di dalam api, bersemayam di dalam rasa api - perasaan amarah, ada sebuah perasaan tidak suka atau sakit hati yang di sebabkan oleh rasa amarah, yang di sebabkan oleh sesuatu.

Ono merak memitran lan baya, merak mewakili keindahan mewakili nilai seni, sesuatu yang dapat memberi kesenangan, kebahagiaan, pelipur lara. Memitran lan baya keindahan, sedang terancam oleh sebuah mara bahaya, untuk memperoleh keindahan, kebahagiaan menjadi sesuatu yang mahal dan terasa sulit di cari.

Keong sak kenong matane, keong mewakili sesuatu yang berjalan lambat, sesuatu yang ringkih, kecil, orang tertindas, kesadaran yang terbungkam. Keong sak kenong matane, penggambaran suatu masyarakat yang pasif, masyarakat yang diam yang mendiamkan sesuatu yang dilihatnya secara nyata, terdapat ketimpangan, ketidak adilan mereka hanya diam saja, mereka hanya pasif melihat dan tidak mau beraksi, bersuara.

Tikuse podo ngidung, Tikus, para pengerat para koruptor, para perampas uang rakyat, para penipu kebenaran podo ngidung, saling bernyanyi, seakan-akan mereka bebas berapa saja, bernyanyi perpesta pora diatas kepedihan dan kebodohan rakyat, diatas kebodohan kita, ketidaksadaran kita. Mereka telah merampas hak-hak kemanusiaan.

Kucing gering kang anunggoni, kucing kurus yang menjagai, sementara itu para abdi negara para penegak hukum, ataupun kesadaran dalam diri kita semuanya masih miskin masih mudah di suap, kesadaran kita belum kuat, moral kita, moral para pemimpin kita masih ringkih dan mudah di tipu.

Kodok newu segoro, seperti kodok menguras lautan sepertinya hal ini mustahil untuk di perbaiki, segala sendi, segala sisi dari kehidupan negara maupun pribadi di dalamnya sudah morat-marit dan mustahil di benahi.

Holeh banteng sewu, yang tampak hanya pola-pola kekerasan kebringasan, amuk massa, siap yang kuat yang memiliki banyak pendukung dan massa sering bersifat mau menang sendiri dan arogan. Kelompok mayoritas, keyakinan mayoritas selalu menakuti dan mengintimidasi kelompok minoritas dan kecil, dan suara nurani nyaris hilang dari peredaran. Pernah melihat banteng yang sedang mengamuk seperti itu keadaannya, apalagi degan jumlah mereka yang banyak tak tahulah apa yang terjadi. Kita semua hidup dalam rasa ketakutan.

Precil-precil kang anjaga, sementara itu di sisi lain para aparat pemerintah, para penegak hukum dan hukumnya sendiri sudah tidak berfungsi optimal, mereka kalah jumlah, kalah kewibawaan, coba sekarang lihat, dimana-mana banyak sekali aktivitas kekerasan yang di dasari sentimen dan kepicikan wawasan keagamaan terjadi di mana-mana. Gereja-gereja di bakar, kaum minoritas kesulitan membangun tempat ibadah bagi keyakinannya, para laskar keagamaan mengamuk memukuli orang-orang yang dianggapnya sesat, tanpa ada landasan hukum yang mengatur. Para teroris berkedok politisi, agamawan dan pengusaha korup menguasai pasar sementara itu pemerintah hanya diam saja dan membisu tak bisa berbuat apa-apa. Lalu di manakah letak kekuatan negara ini sebagai suatu institusi.

Semut ngangrang angrangsang gunung merapi,Wit ranti woh delimo, di sisi lain api-api kebencian di sulutkan dimana-mana, semut yang identik dengan gigitan telah di tebarkan dimana-mana, api rekayasa, isu dan fitnah dan berbagai aksi untuk menjungkir-balikan kebenaran sengaja di rancang dan di pasang agar gunung berapi kebenaran tertimbun oleh kepentingan elit dan golongan.

Sehingga yang terjadi adalah wit meranti woh delimo, meranti berbuah delima, maka terjadilah perputaran dan penjungkirbalikan fakta, yang salah di benarkan dan yang benar disalahkan. Aura kebusukan dan ketidaksadaran terjadi di mana-mana. Dari semua unsur masyarakat dari elemen terbawah hingga para pemimpin semuanya berjiwa penipu. Suara Nurani menjadi barang langka.

Dan nampak saat ini bila kita sedikit saja mau membuka mata kejadian yang rejadi, carut marut permasalahan yang menimpa segala sendi dan elemen bangsa ini, sudah pada titik kulminasi. Sudah mencapai keadaan yang sangat mengkhawatirkan.

Waluyaning benjang yen wus ana,'Wiku, memuji ngesti sawiji’, Dan hal itu akan berangsu-angsur membaik bila kelak telah datang seorang wiku, orang suci, seorang pemandu, mahatma yang memuji ngesti sawiji mampu menyatukan semua berbedaan, ia yang mampu menjaring dan meracik solusi bagi setiap permasalahan bangsa, seorang besar yang mempersatukan negeri ini dalam ikatan pemahaman yang universal dan tidak mengotak-kotakkan manusia berdasarkan paham dan pandangan sempit, agama, ras suku dan lain sebagainya. Kehadiran tokoh penyatu yang di tunggu.

Sabuk lebu lir majenun, orang ini hanya bersabukkan angin, bersejatakan kekosongan, ia tidak menghasratkan apa-apa, ia hanya menunaikan tugasnya, ia bersumber dari kekosongan abadi, lir majenun, Seperti orang gila, ya ia memang lain dari yang lain ada sesuatu yang baru yang di milikinya.

Galibedan tudang-tuding, anacehken sakkehing uwong. Ia dengan sangat berani menyuarakan kebenaran, meski banyak orang yang akan memusuhinya, menghalanginya. Tapi ia tidak peduli, bhaktinya kepada pertiwi ini, negeri ini adalah satu-satunya agama yang di milikinya, ia rela menggadaikan selembar nyawanya demi semua itu. Dialah sang pamomong, sang penuntun.

“Iku lagi sirep jaman kala Bendu,
Kala suba kang gumanti,
Wong cilik bakal gumuyu,
Nora kurang sandang bukti,
Sedyane kabeh kelakon”.

Kedatangannya yang membawa penerangan bagi setiap jiwa, keberanian pada diri setiap pemuda dan ajarannya yang terbukti benar, kelak akan mengantar perubahan bangsa ini, dari bangsa yang korup, keras, alot dan meninggalkan budaya sendiri, menjadi bangsa yang siap landas, bangsa yang mengapresiasi perbedaan dan melindungi kaum minoritas kelak akan terwujud. Dan sejajar dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Dalam semangat Universalitas.

Namun perjuangan itu kini baru di mulai, sang pamomong, sang pembimbing sedang dalam proyek membangun kayangan Indonesia, kelak dunia akan selalu mengenang jasanya. Untuk itu di butuhkan banyak para Arjuna dan srikandi untuk membantu tugas-tugasnya dan sekarang baru di buka lowongan bagi para pemberani- pemberani itu!
Adakah Ia salah satu di antara Anda?

Jayalah Kebenaran, Jayalah indonesia.



Demikian sebatas pemahaman kami, salam.

( Catatan ini terinspirasi dari Buku, JANGKA JAYABAYA karya Bapak Anand Krishna, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan, terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama Th.2005)

No comments:

>>>

-



-