06 June 2010

Kisah Sang Sukracharya Guru Para Raksasa


Kisah tentang sang Sukra, putra resi Bhrigu. Pada suatu saat resi Bhrigu memutuskan untuk bertapa-brata di sebuah daerah di pegunungan yang indah bernama Bukit Mandrachal. Putranya Sukra setia menjaga dan melayani ayahnya di bukit tersebut.



Sewaktu sang resi mencapai tahap semadi nirwikalpa, maka Sukra pun menyendiri ke suatu tempat yang tenang. Pada saat itu ia mengenakan kalung bunga yang berasal dari pohon kalpa, dan pikirannya terpusat antara gyan dan agyana. Tiba-tiba ia menyaksikan seorang bidadari terbang di angkasa dan iapun tertarik sekali kepada bidadari ini. Dengan memejamkan matanya, ia pun berimajinasi untuk mendapatkan sang bidadari tersebut, dan sampailah ia ke swarga-loka yang dipenuhi pepohonan kalpa, di mana ia menyaksikan para dewa bercanda-ria dengan para dewi. Kemudian ia pun berjalan-jalan di kawasan swarga itu dan akhirnya sampai ke balairung Dewa Indra, dan disambut dengan sangat hangat oleh para dewa, bahkan diundang agar tinggal selama beberapa hari di istana Sang Dewa Indra. Sukra menerima undangan tersebut.



Akhirnya Sukra pun melupakan raga aslinya dan ia terserap kedalam imajinasinya ini dan terus mengangan-angankan sang bidadari yang pernah disaksikannya tersebut. Beberapa hari berlalu dan ia pun mohon pamit kepada Dewa Indra, namun para dewa mendesaknya agar sudi menyaksikan isi swarga yang lain. Sukra pun mengikuti mereka dan beranjangsana ke berbagai lokasi swarga-swarga ini, dan di suatu lokasi ia melihat sang bidadari idamannya sedang bercanda-ria dengan para teman-temannya. Begitu keduanya saling pandang maka Sukra dan sang bidadari langsung jatuh cinta satu dengan yang lainnya. Keduanya langsung dimabuk asmara dan bercumbu-rayu di bawah pohon kalpa. Selama 32 yugas mereka hidup bersama dan berkelana di berbagai swarga.

Sewaktu karma mereka usai, keduanya tercampak ke bumi dan lahir kembali sesuai dengan tujuan mereka. Sukra lahir sebagai seorang brahmin yang bernama Daksharya dan Sang Bidadari lahir kembali sebagai putri seorang raja yang bernama Mahwa. Sewaktu sang putri berusia 16 tahun ia memuja ke Dewa Shiwa dan memohon agar dapat menikah kembali dengan suaminya pada penjelmaan terdahulu. Tak lama kemudian raja mengadakan sayembara bagi putrinya dengan mengundang para pangeran, raja dan para brahmana untuk saling berlaga dan memenangkan putrinya ini. Daksharya hadir di sayembara ini bersama-sama putranya. Sang putri langsung tertarik kepadanya dan mengalungkan bunga sayembara kepadanya, dengan demikian ia menjadi suami sang putri.

Sang raja akhirnya memutuskan untuk bertapa di hutan, dan kerajaan diwariskan kepada Daksharya. Demikianlah Daksharya memerintah kerajaan ini sampai ia berubah tua. Pada masa tua ini ia baru sadar bahwa istri adalah sumber malapetaka baginya, timbul kemudian tendensi spiritual di dalam dirinya, namun karena sudah rapuh dimakan usia, iapun wafat tanpa dapat berupaya secara spiritual.
Sesuai dengan karma masa-masa lalunya maka ia lahir kembali sebagai seorang pemburu burung. Demikianlah semasa hidupnya ia memburu burung, namun menjelang akhir hayatnya ia bertendensi kembali ke jalan spiritual, dan ia lahir kembali sebagai seorang raja di kerajaan dinasti Suryawanshi, sebelum akhir hayatnya ia memuja ke surya. Sesuai dengan alur karmanya, ia mempelajari berbagai weda dan yoga, dan pada kelahiran berikutnya ia hidup sebagai seorang pendeta, upayanya mempelajari Weda makin meningkat kadarnya. Pada kelahiran selanjutnya ia lahir sebagai seorang yang terpelajar (widyadhar) dan hidup selama satu siklus (kalpa). Sesudah itu ia lahir sebagai putra seorang resi dan rajin bertapa brata di gunung Semeru. Ia kemudian lahir di rumah seorang perampok dan iapun sangat menderita karena keterikatannya dengan putranya. Pada kelahiran berikutnya ia lahir sebagai Raja Madyadesh berkuasa untuk beberapa lama. Sebelum meninggal dunia ia bertapa dan pada kelahiran berikutnya ia lahir sebagai putra seorang pertapa (tapaswi), di kehidupan ini ia mengalami kehidupan tanpa rasa dan duka sambil bertapa di tepi sungai Gangga.

Demikianlah ia senantiasa berkelana sesuai dengan imajinasinya. Raganya di bukit Mandrachal telah berubah kaku, namun tidak terganggu oleh serangga ataupun oleh hewan di hutan. Demikianlah 360.000 tahun berlalu, dan pada suatu hari Resi Bhirgu terjaga dari semadinya. Menyaksikan raga putranya telah berubah kaku, ia memperkirakan Sukra telah meninggal dunia. Iapun marah besar dan berteriak “Mengapa putraku harus mati padahal ia adalah seorang pertapa yang agung, dan seharusnya ia hidup sampai dengan akhir penciptaan ini?”



Karena kemarahannya resi Brigu mengutuk dewa kematian yang tidak adil. Pada saat itu hadirlah Dewa Kematian Yama dihadapan Resi Bhirgu, dan berkata penuh kelembutan, “Wahai resi yang agung, mereka-mereka yang telah mengenal Sang Paramatman tidak akan gusar walapun terganggu oleh kemarahan manusia lain. Mengapa dikau begitu risau akan keterikatan ini. Dikau adalah seorang tapaswi dan telah memahami Brahm. Aku terikat oleh hukum Yang Maha Esa, janganlah gusar aku tidak akan terpengaruh oleh kutukanmu, bahkan api kiamatpun tidak akan sanggup menghancurkanku. Aku pun telah mengalami berbagai kehidupan dan resi setaraf andapun tidak akan lepas dari kematianku. Hal ini adalah kuasa utama yang telah digariskan bagiku. Melalui gyana (pengertian, kesadaran yang benar), maka sadarlah kita bahwa tidak ada pelaksana (karta) dan yang mengkonsumsi pelaksanaan (bhokta) ini, tidak ada sebab dan akibat, yang hadir hanyalah sang Atman. Namun sebaliknya kalau ditinjau dari sisi agyana maka akan terwujudlah semua ilusi semesta ini. Oleh sebab itu, wahai resi janganlah gusar, aku tidak membunuh putramu, ia sedang menjalani kodratnya, jadi sia-sialah kutukanmu itu.”

“Di tahap ini, setiap makhluk dan manusia memiliki dua raga. Satu raga mental yang halus sifatnya, dan yang satu lagi disebut raga kasar yang terdiri dari daging dan tulang. Raga yang kedua ini sifatnya dapat binasa dan berfungsi dengan bantuan sang pikiran dan tidak memiliki daya intelegensia. Seandainya sang pikiran maju ke arah kebenaran, maka iapun akan melaju ke tahap yang mulia, demikian juga sebaliknya. Semua ini akibat dari pikirannya sewaktu dikau larut di dalam semadimu, dan ia telah berhubungan dengan seorang bidadari yang bernama Aswachi, melalui raga halusnya. Melalui berbagai kelahiran dan kematiannya akhirnya ia kembali lagi memasuki bebijian gandum dan ia lahir kembali. Pada saat ini ia sedang bertapa-brata di tepi sungai Gangga. Cobalah untuk menyimak semua kejadian ini secara bijaksana. Pada saat ini putramu sedang berusaha mengendalikan indriyasnya, cobalah melihat dengan mata batinmu.”

Demikan akhir wacana Dewa Yama. Resi Bhirgu memejamkan matanya dan terkejut melihat semua peristiwa ini. Iapun memohon maaf kepada Dewa Yama sambil berkata “Prabu, aku kehilangan akal sehatku karena kesalah-fahamanku.” Resi Bhirgu kemudian menyatakan, “Prabu, dikau menyatakan bahwa setiap insan memiliki dua raga yaitu yang halus dan yang kasar. Namun bagiku yang hadir hanyalah yang halus karena semua pelaksanaan ini dilaksanakan oleh sang pikiran, raga hanya mengikutinya saja .”

Dewa Kematian sang Yama menjawab, “Wahai resi dikau berkata benar, ibarat seorang pembuat gerabah menciptakan berbagai tempayan, demikian juga sang pikiran menciptakan berbagai raga. Begitu pemahaman sang pikiran begitu juga kreasinya. Bagi seseorang bijak semua pelaksanaan ini adalah pekerjaan sang pikiran semata. Sebenarnya yang eksis adalah Brahm semata. Demikian juga halnya dengan putramu, jadi bagaimana mungkin aku bersalah dalam hal ini?”

Kemudian resi Bhirgu dan Dewa Yama terbang bersama-sama ke lokasi di mana Sukra sedang bertapa, dan mereka langsung memahami bahwa Sukra telah mencapai tahap non-ide dan pada saat itu Sukra berada di dalam semadi yang amat shanti. Dewa Kematianpun membangunkan Sukra dari semadinya. Begitu sadar Sukra langsung menghormati kedua tamunya ini dan bertanya siapakah gerangan mereka.

Resi Bhirgu kemudian berkata, “Dikau adalah seorang gyani, cobalah untuk mengenali kami dan mengingat siapakah dirimu ini.” Sukrapun kembali memejamkan matanya dan tak lama kemudian membuka matanya dan berkata penuh takjub,”Jalan-jalan sang alam ini sangatlah menakjubkan. Aku sadar bahwasanya aku telah berkelana di bawah pengaruh ilusiku, dan pada saat ini telah mencapai pengetahuan dan shanti di dalam Sang Atman. Ilusi ini telah sirna dan aku tidak lagi memiliki hasrat apapun juga. Namun sesuai dengan kodrat maka kita semua harus kembali ke lokasi di mana tubuh kasarku masih terbaring di bukit Mandrachal. Walaupun aku tidak menghasratkan raga tersebut, namun hukum alam harus dijalani.”

Kemudian ketiga orang suci ini kembali ke bukit Mandrachal. Sukra berkata penuh ketakjuban, “Sewaktu raga tersebut hidup, raga tersebut aktif dalam berbagai cara, namun sekarang raga ini kaku dan kering.” Sukra berkata kepada raganya yang telah kering ini, “Sekarang dikau telah mencapai tahap dimana tidak ada pemahaman, dikau telah lepas dari berbagai penderitaan. Ide-ide palsumu telah sirna dan jalan pikiranmu terhenti. Dikau telah memasuki shanti dan bebas dari berbagai perjalanan hidup dan karma-karmamu, dan sewaktu memasuki tahap keseimbangan, maka seseorang bebas dari seluruh penderitaan”

Setelah menyaksikan tubuhnya yang rapuh tersebut Sukra memutuskan untuk meninggalkan tubuhnya tersebut, namun hal itu dicegah oleh Yama-Dewa, beliau menganjurkan kepada Sukra agar menerima tubuh tersebut, karena melalui tubuhnya itu Sukra harus menjadi gurunya para asuras, di samping itu masa kehidupannya masih teramat lama. Dewa Yama kemudian kembali ke lokanya.

Sukra kemudian menanggalkan tubuh resinya dan memasuki tubuh lamanya. Tubuh resinya langsung berubah kaku, sedangkan tubuh lamanya hidup kembali. Resi Bhirgu melalui kesaktiannya melakukan berbagai upacara segera untuk menolong putranya, dan tidak lama kemudian Sukra bangkit dari pembaringan dan bersujud kepada ayahnya. Tubuh resinya kemudian dikremasikan sesuai dengan kelaziman yang seharusnya. Demikianlah dengan daya pencerahan spiritual maka akhirnya Sukra terpilih menjadi guru para asuras (Inilah Kehendak Yang Maha Esa yang penuh dengan misteri duniawi, namun melalui kesadaran Atmik, maka tugas sekotor apapun akan diterima oleh seorang gyani yang telah sadar sepenuh-penuhnya akan Hakikat Yang Maha Esa).

Hal tersebut terjadi karena Sukra pada saat itu baru saja menyandang raganya yang pertama kali, ia bangkit dari Brahm-tattwa. Sebelumnya ia belum pernah dilahirkan dan mati berkali-kali, jadi sebenarnya beliau itu lepas dari berbagai kesalahan. Sesuai dengan ide di dalam jalan pikirannya yang murni demikian juga hasilnya, sebaliknya jalan pikiran seseorang yang tidak murni hasilnya tidak sesegera itu. Pada hakikatnya semua jiwa berkelana terus dari satu kelahiran ke kelahiran yang lain sampai ia mencapai Sang jati Diri (Atman).

Sewaktu Sukra mengalami berbagai pemahaman seperti kehidupan dewa-dewa dan swargaloka, bagaimanakah ia merasakan dan mengalami berbagai objek, waktu dan perilakunya sebagai suatu kenyataan, pada saat-saat itu? Sukra mengalami hal tersebut sesuai dengan jalan pikirannya. Ibarat telur burung merak yang isinya berwarna-warni, demikian juga warna-warni pikiran Sukra pada saat-saat tersebut, yang termanifestasi sama seperti seseorang yang berada dalam tahap sadar, alam mimpi dan alam tidur lelap.

Bila saatnya berbagai semesta dari berbagai jiwa ini bercampur satu dengan yang lainnya, dan bila saatnya unsur-unsur tersebut tidak bercampur aduk sesamanya? Jalan pikiran yang tidak murni tidak bercampur satu dengan yang lainnya, sebaliknya jalan-jalan pikiran yang murni bercampur satu dengan yang lainnya. Sewaktu rasa memiliki raga ini telah hilang, dan seseorang tidak mengacuhkan lagi nama dan rupa, maka melalui pranayama (meditasi pernafasan), sang chitta akan segera mudah terstabilkan di dalam Sang Atman. Pada tahap ini, seorang peniti jalan spiritual akan memahami jalan pikirannya di dalam chitta orang lain (secara mudah), seandainya ia menghasratkannya demikian. Sebenarnya setiap jiwa mendapatkan apa saja yang dihasratkannya (secara lambat atau cepat). Juga jiwa-jiwa yang memuja para dewa akan mencapai tahap (alam) dewaloka; yang memuja hantu, syitan dan iblis juga akan mencapai alam-alam tersebut. Demikianlah setiap jiwa akan mencapai ishtadewata-nya, jalan yang mengarah ke Brahm juga akan dicapai oleh para pemujanya. Oleh sebab itu seyogyanya dikau mengambil dan menghasratkan jalan Sang Brahm Yang Maha Hakiki ini.


Dikutip dari terjemahan buku Vashistha Yoga.

No comments:

>>>

-



-