Ditulis oleh : Triwidodo DjokorahardjoSepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan kisah Garudeya. Mereka ingat bahwa di Pelataran Candi Sukuh terdapat dua buah patung Garuda yang mengungkapkan kisah Garudeya dari kitab Adiparwa. Di depan suami istri tersebut ada beberapa buah buku Bapak Anand Krishna, diantaranya “Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan”, “Bhaja Govindam, Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara”, dan “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa”, sebagai referensi pembicaraan mereka.
Sang Istri: Tersebutlah kisah di awal mula peradaban. Bhagawan Kasyapa mempunyai istri berjumlah delapan. Anak keturunannya lahir sebagai dewa, manusia, raksasa dan hewan. Dua Istri Sang Bhagawan, Dewi Winata dan Dewi Kadru selalu berada dalam persaingan. Dewi Kadru melahirkan telur berjumlah ribuan. Menetas semua menjadi ular dan naga. Dewi Winata melahirkan dua telor dan belum menetas juga. Satu telor sengaja dipecah agar segera keluar seorang putra. Ternyata menjadi burung belum sempurna yang dinamakan Aruna....... Pada suatu saat, Dewi Winata terlibat pertaruhan dengan Dewi Kadru mengenai warna ekor kuda Uchaisrawa yang akan keluar dari samudera. Dewi Winata bertaruh bahwa ekor kuda tersebut putih warnanya. Para ular memberi tahu Dewi Kadru, ibu mereka, bahwa sang ibu akan kalah, karena memang ekor kuda tersebut putih warnanya. Dewi Kadru meminta anak-anaknya menutupi ekornya, agar ekor kuda nampak hitam warnanya. Ular yang menolak dikutuk akan mati sebagai persembahan para dewa. Mereka yang menolak menuruti kemauan sang ibu, merasa amat sedih dan bertapa mohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa. Akhirnya kedua dewi tersebut melihat seekor kuda keluar dari dalam samudera. Ekor kuda tersebut hitam warnanya dan Dewi Winata kalah dan dijadikan budak oleh Dewi Kadru sebagai perawat ular-ular putranya.
Sang Suami: Satu telor tersisa dari Dewi Winata akhirnya menetas menjadi Garuda. Garuda paham bahwa dirinya harus berterima kasih kepada sang ibunda. Yang telah mengandung dirinya dan menyebabkan dirinya lahir ke dunia. Genetik kedua ayah dan ibunya membuat dia menjadi perkasa. Dia mencari sang ibunda ke pelosok dunia. Dan akhirnya mengetahui bahwa sang ibunda menjadi budak perawat para ular di samudera. Garuda berusaha sekuat tenaga membebaskan, akan tetapi para ular dan naga mempertahankannya. Garuda bertanya apa syaratnya untuk membebaskan sang ibunda. Para ular dan naga meminta “tirta amerta”, air yang membuat “a-merta”, tidak mati, hidup abadi selamanya. Garuda berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan tirta amerta. Segala halangan dan rintangan dilewatinya. Sri Wisnu pemilik tirta amerta melihat kesungguhan dalam diri Garuda. Garuda dipersilakan minum tirta amerta, tetapi Garuda dengan sopan menolaknya. Hamba tidak berani menolak anugerah Gusti, tetapi mohon diberikan dalam bentuk lainnya, tirta amerta kami butuhkan untuk melepaskan perbudakan ibu hamba. Gusti telah memahami keadaan ibu hamba. Sri Wisnu amat berkenan dengan sopan santun dan etika Garuda. Sri Wisnu memberikan tirta amerta dan minta datang kepadanya setelah selesai urusannya....... Di tengah perjalanan, Dewa Indera menghentikan, dan kemudian berpesan, agar tirta amerta diberikan, setelah Dewi Winata dibebaskan, agar dia tidak terpedaya ulah para ular dan naga yang penuh ketidakjujuran. Selanjutnya Garuda minta Dewi Winata dibebaskan, para ular dan naga diminta membersihkan diri dari ketidakjujuran yang telah mereka lakukan. Para ular dan naga memenuhi permintaan, Dewi Winata dibebaskan, mereka membersihkan diri dan bertobat dari semua tindakan.... Ketika mereka sedang membersihkan diri, tirta amerta direbut para dewa, sehingga para ular dan naga tak dapat hidup abadi. Mereka dapat berganti kulit, dapat meremajakan diri, tetapi tetap akan mati. Hukum sebab-akibat berjalan sangat rapi....... Akhirnya, Sang Garuda pamit kepada ibundanya untuk menghadap Gusti. Garuda tidak minta apa pun juga, pasrah pada Kehendak Ilahi. Gusti berkenan menjadikan Garuda menjadi kendaraan pribadi. Bukan sekedar tirta amerta yang membuat tidak bisa mati, tetapi anugerah untuk menyatu dengan Gusti.
Sang Istri: Dewi Winata dan Dewi Kadru terlibat dalam persaingan yang nyata........ Dan “pikiran” memang senang berlomba. Jika diberi tujuan, ia sangat suka. Apa pun tujuan yang diberikan kepadanya, ia bersemangat untuk mendapatkannya. Orang yang gila kekuasaan akan selalu berlomba. Ia ingin menjadi nomer satu dan demi tercapainya keinginan itu, ia akan selalu melibatkan dirinya dalam perlombaan. Ia lebih mirip kuda-kuda pacuan. Jadilah manusia jangan menjadi hewan. Perlombaan, persaingan, semuanya itu sifat-sifat hewan..... Manusia memiliki harga diri. Ia cukup mempercayai dirinya sendiri. Ia tidak usah terlibat dalam perlombaan duniawi. Setiap manusia unik, tidak ada satu pun manusia yang persis sama. Mengapa harus berlomba? Demikian tertulis dalam buku “Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan, karya Bapak Anand Krishna.
Sang Suami: Kita perlu mengadakan introspeksi terhadap pendidikan kita. Selama menuntut ilmu, kita dipaksa untuk "berlomba". Kejuaraan menjadi tolok ukur keberhasilan kita. Selama bertahun-tahun, dari TK sampai Universitas, kita dikondisikan dan diprogram untuk berlomba. Dan programming tersebut tidak berakhir dengan gelar sarjana. Tetapi berlanjut sampai meninggal dunia. Apa pun yang kita lakukan, di mana pun kita berada, kita sibuk berlomba....... Dewi Winata dan Dewi Kadru, mengikuti egonya. Ego bersifat individualistik, hanya memenuhi hasrat pribadinya. Karena sangat individualistik, mereka selalu merasa "terancam" dan merasa berada dalam keadaan bahaya. Mereka tidak pernah hidup tenang dan kegelisahan mereka sebarkan kemana-mana. Bila ingin bebas dari keadaan ini, kita harus cepat-cepat mengubah cara pandang kita. Dari individualistik menjadi holistik, demikian diuraikan dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa”.
Sang Istri: Potensi hewan, atau kehewanian, yang disebut insting-insting dasar, sesungguhnya tidak pernah mati sepenuhnya. Dalam diri orang yang sudah tercerahkan pun, sisa-sisa insting itu masih ada, sehingga kita harus selalu waspada. Bila tidak, kita bisa saja terseret lagi seperti yang dialami Dewi Kadru dan Dewi Winata. Kita tidak bisa bebas dari hewan di dalam diri, tetapi bisa menjaga kejinakannya. Janganlah kita terkendali olehnya. Jangan kira sekali terjinakkan hewan di dalam diri menjadi jinak untuk selamanya. Tidak demikian. Hewan-hewan buas nafsu, keserakahan, kebencian, kemunafikan, dan lain sebagainya, termasuk majikan mereka yaitu gugusan pikiran yang kita sebut “mind”, membutuhkan pengawasan ketat sepanjang hari, sepanjang hayat kita. Demikian dijelaskan dalam buku “Bhaja Govindam, Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara”.
Sang Suami: Dewi Kadru pun berada dalam diri. Alam bawah sadar kita masih terpengaruh naluri hewani. Itu sebabnya kita tidak segan-segan mencelakakan orang lain, demi kepentingan diri. Kita harus melanjutkan perjalanan ruhani. Berada pada tingkat ini, sebenarnya kita belum manusiawi. Mempunyai badan manusia, tetapi belum cukup manusiawi. Kita juga harus bisa memikirkan kenyamanan orang lain, bukan hanya kenyamanan diri sendiri.
Sang Istri: Garuda tak pernah gentar, maju terus pantang mundur dengan semangat pahlawan maju ke medan laga. Senjata bisa dibeli, tetapi keberanian tidak bisa, tidak akan bisa. Bintang Jasa bisa direkayasa, diatur, tetapi kepahlawanan tidak bisa. Semangat seorang pahlawan, seorang pemberani, dari dalam diri sendiri munculnya. Mereka yang bicara tentang "motivasi", sungguh tidak memiliki "semangat" baja. Dia yang membutuhkan sesuatu untuk memotivasinya, untuk mendorongnya, karena dia tidak memiliki kekuatan dalam dirinya. Semangat merupakan energi yang mampu menegakkan kepala tanpa bantuan siapa pun juga. Selama masih membutuhkan bantuan dari luar, dia belum bersemangat baja. Lalu, jika mengerjakan sesuatu tanpa semangat baja, dia akan selalu gagal pula. Semangat adalah "gairah" dan apabila hidup "menggairahkan", dia akan bersemangat dalam berkarya...... Dan, hidup akan menggairahkan jika makna kehidupan dapat kita pahami. Lalu untuk memahami makna kehidupan, kita harus mengenal diri sendiri. kita harus menemukan jati diri. Kita harus memahami potensi diri, dan menjalani dan melakoni hidup, sesuai dengan potensi pribadi. Demikian, hidup akan sangat menggairahkan sekali. Kita akan bersemangat untuk menjalani, melakoni........
Sang Suami: Pengorbanan adalah mahkota para satria. Tidak perlu dikaitkan pengorbanan dengan agama, dengan surga dan dengan para bidadari jelita. Garuda berkorban demi Ibunya, diminta minum tirta amerta agar hidup abadi pun ditolaknya. Akan tetapi justru karena itu Gusti mengasihinya. Para putra-putri bangsa mesti berani berkorban demi Ibu Pertiwi tercinta. Berkorban demi negara adalah dharma, kewajiban kita semua..... Prinsip pengorbanan lebih hebat daripada “win-win solution”, di mana untuk memenangkan tak perlu melakukan pengorbanan. Penting sekali semangat dan kerelaan untuk berkorban. Pengorbanan itu sendiri adalah kemenangan. Ia telah berhasil menguasai nafsunya yang selalu ingin menang sendirian.
Sang Istri: Sri Wisnu melihat kesungguhan dalam diri Garuda. Dia telah melihat adanya benih kasih dalam diri Garuda. Dia paham bahwa benih tersebut berpotensi mekar menjadi lembaga, dan menjadi pohon yang perkasa. Salah satu syarat untuk meningkatkan kesadaran adalah berani dan yakin, “fearless and no doubt” terhadap Kebenaran. Garuda dalam upaya menyelamatkan ibunya telah melepaskan keraguan dan ketakutan.
Sang Suami: Semoga para putra-putri bangsa meneladani Sang Garuda. Berfokus menyelamatkan Ibu Pertiwi yang sedang menderita. Semoga Ibu Pertiwi segera berbahagia, bebas merdeka dan kembali berjaya. Dalam situs http://www.aumkar.org/ind/?p=20 tertulis Nyanyian Ilahi keempat, dan berikut ini adalah petikannya: Sesuai dengan sifat dasar masing-masing, Manusia dibagi dalam 4 golongan utama. Walau pembagian seperti itu, Tidak pernah mempengaruhi Sang Jiwa. Para Pemikir bekerja dengan berbagai pikiran mereka. Para Satria membela negara dan bangsa. Para Pengusaha melayani masyarakat dengan berbagai cara. Para Pekerja melaksanakan setiap tugas dengan sebaik-nya....... Berada dalam kelompok manapun, bekerjalah selalu sesuai kesadaran. Jangan memikirkan keberhasilan maupun kegagalan. Terima semuanya dengan penuh ketenangan. Bila kau bekerja sesuai dengan kodratmu, tidak untuk memenuhi keinginan serta harapan tertentu, maka walau berkarya sesungguhnya kau melakukan persembahan. Dan, kau terbebaskan dari hukum sebab akibat....... Tuhan yang kau sembah, juga adalah Persembahan itu sendiri. Dalam diri seorang penyembahpun, Ia bersemayam. Berkaryalah dengan kesadaran ini, dan senantiasa merasakan kehadiran-Nya.
Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!
Situs artikel terkait
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com/
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
23 June 2010
Renungan Tentang Dewi Winata Dan Garuda, Kisah Sebuah Persaingan dan Kesadaran Putra Perkasa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
>>>
-
-
-
No comments:
Post a Comment