Demikianlah alur kalacakra berputar pada tiap kehidupan manusia, kadang suka kadang duka, kadang merasa diatas kadang merasa dibawah, tidak ada sesuatu yang konstan, tidak ada sesuatu yang abadi, segala selalu berubah. Bagai rangkaian acak gelembung-gelembung air. Sulit dipastiakan. Bagai buih-buih air mengembang dan meletus begitu saja. Tiada urutan yang jelas.
Mungkin satu-satunya yang abadi di dunia ini hanyalah perubahan itu sendiri. Sesuatu yang dianggap edisi terbaru di hari ini, akan disebut rongsokan di besok-besok hari. apa yang dianggap sebagai sesuatu misteri di hari ini, akan dianggap hal yang biasa-biasa saja esok hari. segala sesuatu berputar, mengembang dan berekspansi.
Begitu juga pengalaman yang dirasakan dalam kehidupan setiap manusia, setiap sisi-sisinya mempunyai peran yang berbeda-beda. Namun dalam pemaknaan yang lebih dalam, ketika semua pengalaman di tinjau dari sudut yang paling hakiki, adalah sebuah rangkaian aksi tanpa henti sang jiwa dalam memindai hasrat-hasrat keillahiannya.
Ketika jiwa memutuskan dirinya terlahir sebagai anak kehidupan, jiwa sedang memperindah bentuk-Nya dengan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan. Dan setiap pribadi mempunyai alur dan sketsa yang berbeda satu sama yang lainnya. Ada banyak tendensi-tendensi. Dan hidup menawarkan bahwa setiap tendensi dan kecenderungan dominan bagi sebuah jiwa. Akan dipenuhi tanpa syarat oleh keberadaan. Setiap pengalaman terhampar untuk diselami.
Namun ketika jiwa mulai bersentuhan dengan indra-indra, terjadilah tarik-menarik yang dasyat. Jika hal itu dimenangkan oleh jiwa, terjadilah apa yang dinamakan ‘peningkatan kesadaran’ dalam diri manusia. Namun sebaliknya bila pergumulan itu di menangkan oleh pancaindra, terjadilah apa yang di namakan ‘kemerosotan kesadaran’.
Dalam tahap ini jiwa akan menjadi budak bagi pancaindra, maka lahirlah sifat-sifat yang kurang baik dalam diri manusia. Ketika hal ini berlangsung terus-menerus terjebaklah sang jiwa dalam lumpur illusi ‘dalam alam ketidaksadaran’. Dan jiwa-jiwa ini mulai mengidentifikasikan dirinya dengan indera-indera, dengan keberadaan badan wadak. Dan sebagai anak-anak kehidupan setiap badan yang berjiwa mesti berputar dalam hukum-hukum keberadaan. Tubuh mesti memenuhi kodratnya, lahir, tumbuh, sakit dan mati. Maka terciptalah penderitaan bagi jiwa.
‘Menutup lubang jangkrik’
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh manusia terlepas dari berbagai penderitaan, mengejar kekayaan, keinginan, kesehatan, pengetahuan. Namun tanpa dilandasi pemahaman yang hakiki tentang kehidupan, tentang siapakah aku, dari mana asalku, mengapa ada sini dan berbagai pertanyaan fundamental keabadiaan, nampaknya hal ini akan berakhir dengan sebuah kesia-siaan belaka.
Orang-orang menyangka bahwa dengan melakukan ini dan menghafal itu, mempelajari berbagai hal akan mengakhiri penderitaan.akan tetapi ini bagaikan seseorang yang menginginkan banyak benda dan menimbun sebanyak mungkin. Dan berpikir bahwa jumlahnya telah cukup, maka penderitaan akan berkurang dan berakhir. Sama dengan mencoba meringankan beban dengan menambah banyak benda diatas punggung. Beginilah cara berpikir orang-orang awam.
Segala sesuatu dalam dunia ini, mulainya dari pikiran. Tindakan terjadi setelah beberapa saat kemudian. Apabila pikiran selalu terawasi, maka tidak akan terjadi penyelewengan pada tingkat itu. Demikian, tindakan yang kurang pun dapat dihindari. Jadi bukan tindakan yang harus diawasi, tetapi pikiran. Apabila selalu mengawasi tindakan saja, maka tidak dapat menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Kenapa? Karena, pikiran sudah terlanjur tercemar. Bisa saja, pada suatu kesempatan, dapat mengendalikan tindakan. Tetapi; tidak untuk selamanya. Karena itu, pikiranlah yang harus diolah.
Memenangkan pergumulan pikiran dari pengaruh lima pancaindera bagaikan menangkap seekor jangkrik dalam sarangnya. Sarang dengan enam lubang yang menganga. Setelah jangkrik masuk kedalam lubang, bagaimana cara menagkapnya hidup-hidup?
Harus dengan menutup kelima lubangnya dan membiarkan sebuah lubang terbuka, selanjutnya menunggu dan mengawasi sampai jangkrik itu keluar dan ...... – Booopp , baru ditangkap.
Mengawasi pikiran juga demikian, dengan menutup mata, telinga, hidung, mulut dan pori-pori tubuh seseorang baru bisa membuka dan mengendalikan pikirannya. ‘Menutup’ maksudnya mengekang pancaindera, hanya mengawasi pikiran. Itulah meditasi - itulah puasa yang sesungguhnya.
Terimakasih, Jaya Guru Deva
No comments:
Post a Comment