20 April 2010

Apapun yang Terjadi dengan Hidupku, Merah Putih Tetap di Dadaku


Hidup di negeri penuh ilusi

Aku bukan pegawai negeri atau pejabat negeri, bukan pula oknum birokrasi apalagi politisi. Aku hanyalah satu dari sekian ratus juta rakyat kecil, yang untuk sekedar sesuap nasi mesti menukar dengan rembesan peluh dan siraman debu di dahi. Aku mesti kerja keras membanting tulang seharian penuh untuk dapat makan dan menyambung hidup.


Boro-boro untuk plesir keluar negeri atau menginap di hotel di setiap akhir pekan, untuk mengejar tagihan rekening listrik bulan ini pun kelabakan, ngutang sana-ngutang sini. Gaji standart UMR yang diterima jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar apalagi untuk sesuatu yang lain. Memang memprihatinkan, Namun rupanya hal ini bukan aku saja yang mengalami, jutaan rakyat di negeri ini mengalami nasip yang sama seperti ini. Bahkan banyak yang lebih parah.

Apalagi sekarang aku hidup di negeri yang penuh dengan kekerasan, rekayasa, manipulasi, dan korupsi serta penuh peraturan-peraturan yang basi. Negeri penuh ilusi dan ingkar pada leluhur dan budaya sendiri.


Namun demikian aku masih menyimpan secuil harapan pada bangsa ini, pada republik ini, tanah ini. Segelas air putih yang kuminum dan sepiring nasi yang kumakan berasal dari tanah ini dari negeri ini, aku tidak peduli dengan suara-suara dari mereka yang pesimis. Mereka bilang bahwa sesuatu yang aku lakukan demi rasa kepedulian terhadap negeri ini sungguh akan sia-sia, mendingan ngurusi diri sendiri, nyari duit yang banyak dan sukses yang lain tidak penting. Negeri ini sudah bobrok, sudah hancur mustahil diperbaiki. Apalagi kamu tidak punya jabatan apa-apa, sedangkan mereka yang menjadi pimpinan negara saja banyak yang tidak peduli apalagi kamu. Begitulah kata mereka.Perkataan mereka memang benar dan masuk akal. Benar bagi mereka yang berpandangan picik dan hidup dalam ketidaksadaran.



Kehadiran tokoh pembaharu


Pemahamanku tentang kehidupan dan segala tetek-bengeknya sekarang mulai banyak berubah setelah aku banyak membaca buku-buku karya Bapak Anand Krishna, terutama menyangkut tentang rasa kepedulian terhadap tanah air, karena apapun yang terjadi terhadap kehidupanku baik mengenai pekerjaan, kesejahteraan dan berbagai pelayanan sosial lainnya tidak bisa dilepas dari peran negara.


Maka siapa lagi yang dapat merubah keadaan negeri ini menjadi lebih baik, kalau tidak dimulai dari kesadaran individu-individu, dan kemudian menjalar menjadi kesadaran kolektif. Perubahan negeri ini kearah yang lebih baik hanya bisa di mulai bila setiap anak bangsa mempunyai kesadaran dan rasa nasionalisme yang mumpuni.


Sedikit sekali tokoh, bahkan nyaris tidak ada yang memperdulikan masalah ini, dan menampilkannya sebagai misi utama kita dalam pengabdian. Kita telah melupakan tanah ini, negeri ini. Bahkan banyak tokoh-tokoh kita, terutama para kaum agamawan mereka justeru lebih mensucikan tanah yang lain, di negeri yang lain di luar sana. Sungguh malang nasib bumi pertiwi ini.


Namun demikian aku bersyukur, jiwa Sukarno jiwa nasionalisme yang hampir redup itu kini mulai di tiupkan kembali. Apa yang telah diramalkan oleh Sukarno akan kehadiran seorang Mahatma, yang akan menjadi sumber penyebar ajaran kesadaran dan yang akan menjadi nakhoda persatuan dan kesatuan bangsa ini mengusik pikiranku.


Bapak Anand Krishna dengan berbagai buku-bukunya tentang bela rasa dan dan kecitaan terhadap negeri ini ternyata telah menggugah kesadaranku.



Tentang manusia Indonesia baru


Berikut gambaran manusia indonesia baru yang berjiwa nasionalis sejati menurut Bapak Anand krishna dalam buku karya beliau, Ancient Wisdom for Modern Leaders terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama


Manusia Indonesia baru juga masih hidup di tengah manusia-manusia lama yang berwatak keras, kasar, kaku dan alot, dan tidak memahami bahasa kebaikan. Mereka sudah terbiasa bahasa keberingasan. Apa boleh buat? Manusia Indonesia baru terpaksa menghadapi mereka. Ya, menghadapi tidak melawan. Manusia Indonesia baru tidak segan-segan menundukkan kepalanya dan menyalami orang keras dengan harapan bahwa ‘salam’ itu dapat mendamaikan jiwanya. Tapi, bila ternyata ia tetap tidak damai juga, manusia Indonesia baru juga tidak akan kecewa, ia akan melanjutkan perjalanannya tanpa keluh-kesah.


Manusia Indonesia baru tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, ia telah belajar dari sejarah masa lalu dan tidak perlu mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu. Semulia apapun suatu tujuan, bila di capai dengan kekerasan sudah pasti tercemar pula. Ini yang terjadi di masa lalu, dan kita masih menanggung akibatnya.


Manusia lama masih menanggung akibatnya, manusia Indonesia baru tidak lagi menanggung beban masa lalu macam itu, ia tidak melibatkan dirinya dengan peperangan yang terjadi antara dua kubu di masa lalu. Ia tidak hidup di masa lalu. Ia tidak berurusan dengan noda-noda masa lalu itu.


Manusia Indonesia baru tidak berpihak pada salah satu kubu. Ia tidak mengidolakan seseorang atau sekelompok orang. Ia berpihak pada seluruh dunia, pada semesta. Ia mengidolakan seluruh umat manusia. Ia berpihak kepeda kemanusiaan, nilai-nilai luhur yang memanusiakan manusia.



Mengobarkan semangat kebangsaan


Demikian luar biasa kecintaan Bapak Anand Krishna terhadap negeri ini, berikut pernyataan beliau yang sering mengobarkan semangat dalam jiwaku,


“Bagimu, barangkali, sekadar Tanah-Air... Sebidang tanah yang dapat kau jualbelikan, dapat kau gadaikan demi kepingan emas... Dan, air yang tidak perlu kau tahu sumbernya, asal dapat kau minum. Hari ini kau masih memijakkan kakimu di atas tanah ini, besok kau akan memijakkan kakimu di atas tanah yang lain, dan melupakan tanah ini. Hari ini kau masih minum air dari sumur yang satu ini, besok kau bisa memilih sumur yang lain.

Bagiku, Indonesia adalah Ibu Pertiwi. Aku tidak dapat menggadaikan ibu demi surga, demi agama, demi apa saja - apalagi demi kepingan emas yang tak bermakna. Aku lahir "lewat" ibu kandungku, namun yang "melahirkan"ku sesungguhnya Ibu Pertiwi. Bagiku, Dialah Wujud Ilahi yang Nyata sekaligus Tak-Nyata...
Pernah kukatakan sebelumnya, mengabdi kepada-Nya adalah bagian dari Imanku... Sekarang harus kuralat pernyataanku tadi. Mengabdi kepada-Nya, kepada Ibu Pertiwi, itulah imanku, satu-satunya imanku. Itulah agamaku, itulah kepercayaanku.

Engkau yang masih mencari surga, kenikmatan surgawi. Kuucapkan selamat kepadamu. Bagiku, pengabdian kepada Ibu Pertiwi, itulah surga. Itulah kenikmatan yang paling tinggi. Sembah Sujudku padaMu, Ibu Pertiwi.. Bende Mataram, Bende Mataram ...”


Demikian kasih beliau, semoga kita semua menyadarinya.

Jayalah Kebenaran, Jayalah Indonesia.

No comments:

>>>

-



-