11 May 2010

Kutub-Kutub Kehidupan


Seorang murid bertanya, : Ajarilah aku wahai guru, bagaimana cara mendapatkan Ilmu pengetahuan dan memperoleh kebebasan dari jeratan dunia? adakah cara yang paling mudah dan cepat yang bisa kulakukan? Umurku sangat terbatas dan jari-jemari illusi dunia terasa semakin erat mencengkeram diriku, aku takut apa yang kuperoleh selama ini akan lenyap begitu saja, beri aku petunjukmu, guru?


Sebuah pertanyaan yang indah, sebuah pertanyaan yang mendalam, sebuah pertanyaan yang hanya bisa di lontarkan oleh mereka yang mulai jenuh dengan permainan dan ingin menggali dan memasuki kesejatian hidup. pertanyaan yang tidak bisa dilontarkan sekali saja, pertanyaan yang mesti setiap saat di ajukan, pertanyaan yang setiap saat memerlukan energi penuh untuk menelisik. Pertanyaan yang hanya di miliki oleh segelintir orang, pertanyaan yang sulit terjawab, di perlukan para guru yang tercerahkan untuk menjawab pertanyaan itu.


Sekian kali bertanya sekian kali pula akan diperoleh jawaban yang berbeda, jawabannya bergantung pada kemampuan kita untuk menangkap sinyal-sinyal, jawaban yang bergantung pada tingkat kesadaran kita saat terdiam mengajukannya. Pertanyaan dan jawaban ibarat dua sisi kepingan dari satu mata uang logam yang sama. Pertanyaan dan jawaban ibarat sebuah kutub-kutub magnet dalam satu magnet yang sama. Setiap pertanyaan yang muncul digerakkan oleh sebuah kekuatan gaib yang selama ini menggerakkan jantung kita, ini sepertinya bukan hanya sebuah pertanyaan tapi mirip sebuah getaran atau sinyal yang berasal dari kedalaman diri, agar kita berusaha menyingkap tabir, membuka hijab yang selama ini menyelimuti diri, yang selama ini memisahkan diri kita dengan kesejatian kita.


Bagaikan bercermin, setiap detail efek gerak yang kita lakukan, akan menimbulkan reaksi yang sama yang terjadi digambaran cermin. Kita akan kerepotan untuk selalu mengikuti gerak tubuh kita, gerak pikiran kita. Setiap gerakan kita sesungguhnya adalah gerakan berantai yang tak bisa dipisahkan dari gerak laju kehidupan itu sendiri. Efek domino yang terus berjalan dan tidak mengenal kata putus.


Seperti seorang yang sedang naik sepeda, pertama, pikiran seseorang menghendaki, atau menginginkan mengunjungi sesuatu, atau sesuatu yang lain misalnya berputar-putar refreshing mencari udara segar, lalu yang ia lakukan adalah memerintahkan setiap bagian tubuh untuk memenuhi keinginannya, tangan mengendalikan stang, mata mengawasi jalur, otak menghafal jalan, kaki mengayuh pedal, dan nafas kembang-kempis memompa tenaga.


Kalau kita teliti lebih jauh, sebenarnya hal utama yang menggerakkan semua gerakan itu adalah keinginan orang tersebut. Keinginan memerintahkan otak, dan otak meneruskan perintah kepada organ-organ, organ tubuh menggerakkan pedal, pedal menarik rantai, rantai memutar roda, roda menggelinding membawa kerangka besi itu berjalan. Sepeda yang berjalan menggerakkan orang yang menaikinya perpindah dari satu tempat ke tempat lain, gerakan ini menyebabkan pandangan orang ini berubah dalam melihat jalur yang di laluinya, pandangannya yang berubah-ubah direkam oleh mata dan di salurkan ke otak dan otak melaporkan kejadian itu kepada pikiran, pikiran memproses dan memilah informasi yang ada, lalu mulai meresponnya.


Dari simpanan memori itu, pikiran merespon objek-objek. Yang disukai dikejarnya, yang tidak ia suka ia hindari, dan ia akan cuek jiak ada hal yang tidak masuk kekedua kategori sebelumnya. Dari situlah kemudian lahirlah keinginan, keinginan memerintah otak dan seterusnya. Semua bagai lingkaran setan yang tidak berujung pangkal.


Demikian juga yang selalu terjadi lima kuda binal panca indera akan senantiasa menarik kita ke putaran aktivitas kehidupan yang semu. Setiap indera akan memaksa pikiran untuk melahirkan keinginan, satu keinginan yang terpenuhi akan melahirkan sepuluh keinginan yang lain dan sepuluh keinginan itu akan memancing seribu keinginan yang lain untuk nimbrung. Tak pernah berakhir dan terlalu sulit diakhiri.


Setiap keinginan yang belum terpenuhi akan tersimpan menjadi obsesi, keinginan yang tak terpenuhi dan obsesi yang belum kesampaian adalah tiket memasuki perputaran kelahiran dan kematian. Selama keinginan masih singgah, selama itu pula gerigi-gerigi kelahiran dan kematian berputar.



Dalam Ashtavakra Gita disebutkan .........


Keberadaan ini timbul dari “kekurang-pengetahuan” akan Sang Jati Diri, dan hal seperti ini sirna dengan datangnya “pengetahuan” akan Sang Jati Diri, seperti seorang bermata rabun yang melihat seutas tali sebagai seekor ular. Kebodohan yang timbul akibat dari kekurang-pengetahuan. Melihat sesuatu yang tidak nyata sebagai sesuatu yang nyata.


Pengetahuan sejati akan menjernihkan pandangan yang semula tampak berkabut, yang semula tampak samar menjadi terang dan jelas. Sehingga setiap hal yang terjadi karena gerakan pikiran dapat dikendalikan dan diantisipasi. Pengetahuan yang akan mengangkat kebenaran dari lumpur ilusi yang selama ini menjebak. “Ilmu-pengetahuan”, “yang perlu diketahui”, dan “Yang mengetahui”, ketika unsur ini akan hadir menyibak. Dan menjawab.


Semua derita diakibatkan oleh rasa dualistik, (yang saling bertentangan seperti suka-duka, cinta dan benci, panas-dingin dan sebagainya). Tak ada jalan untuk untuk membebaskan diri dari penderitaan ini selain kesadaran bahwa semua obyek pengalaman-pengalaman ini bersifat tidak nyata, dan Aku Yang Tak Terpengaruh oleh rasa Dualistik ini, adalah Kesadaran Yang Murni (Hakiki).


Aku adalah Kesadaran Sejati. Melalui “kebodohan (kekurang-pengetahuan)” Aku memproyeksikan ragaKu di atas Sang Jati Diri. Dengan senantiasa merenungkan hal ini Aku sebenarnya hadir di dalam Sang Jati Diri, tanpa terusik sedikitpun secara mental-pikiran. Aku tak memiliki keterikatan maupun kebebasan. “Sang Ilusi” yang kehilangan sandarannya, sirna sudah. Oh! Seisi alam-semesta, yang walaupun hadir di dalamKu, sebenarnya tidak eksis di dalam diriKu. Sudah kupahami sekarang bahwa raga dan alam-semesta bersifat tidak substansial (fana, tidak ada, ilusi), dan hanya Sang Jati Diri yang bersifat Sejati dan Murni dan adalah Kesadaran Semata-mata. Lalu, bagaimanakah imajinasi dapat hadir tanpa bersandar ke apapun juga (karena semua ini bersifat fana)?


Sang raga ini, swarga dan neraka, keterikatan dan kebebasan dan juga kekhawatiran -- semua ini adalah imajinasi belaka. Ada kepentingan apakah Aku dengan semua ini ---- Aku (sebenarnya) adalah Kesadaran Sejati. Oh! Menakjubkan! Aku tidak menemukan rasa dualistik di tengah-tengah kerumunan manusia. Aku merasa seakan-akan Aku hadir di tengah-tengah sebuah hutan-belantara. Kepada apakah Aku seharusnya menambatkan keterikatanKu?


Aku bukanlah sang raga ini. Juga tidak memiliki sebuah raga. Aku bukanlah makhluk yang memiliki ego. Aku adalah Kesadaran Sejati. Bahwa Aku berhasrat untuk hidup --- sebenarnya hal inilah yang disebut sebagai keterikatanKu. Oh! Menakjubkan sekali! Di dalam keterbatasan samuderaKu, sewaktu badai sang pikiran menerjang, maka gelombang ombak-ombak duniawipun segera muncul. Dan sewaktu badai sang pikiran ini berubah tenang, di dalam keterbatasan samudera DiriKu, secara tidak kebetulan untuk Sang Jiwa, yang ibarat seorang saudagar pemilik perahu, maka perahu (bermuatan) seisi alam-semesta inipun terbelah dan lalu tenggelam. Hebat! Menakjubkan! Di dalamKu, samudera yang terbatas ini, para makhluk, ibarat gelombang muncul secara tiba-tiba, bergelombang, bermain-main untuk sesaat dan kemudian kembali menghilang.


Demikian pelajaran yang mampu ku pahami untuk hari ini,




Terimakasih Guru, kasihmu membuka semua pengetahuan ....

Terimakasih Cinta,
Terimakasih Kehidupan.

No comments:

>>>

-



-