30 May 2010

Renungan Tentang Perjalanan Seorang Musafir, Mampir Ngombe, Tantra dan Ketidakterikatan


Ditulis oleh : Triwidodo Djokorahardjo.

Sehabis diskusi Buku Karya Bapak Anand Krishna dengan teman-teman mereka, sepasang suami istri bercengkerama membicarakan hal yang gampang dijelaskan, namun sulit dipraktekkan. Tentang perjalanan batin dan “ketidakterikatan”.


Sang Isteri:
Para leluhur mempunyai ungkapan “Urip mung mampir ngombe”, hidup hanya sesaat yang seakan hanya untuk minum beberapa tegukan. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju “sangkan paraning dumadi”, menuju ke asal dan juga akhir penciptaan. Saya juga selalu ingat SMS Wisdom yang menyampaikan, bahwa manusia ditakdirkan menjadi peziarah, sayang sekali ia menjadi pengelana tak bertujuan. Bagi para sufi yang penting adalah perjalanan. Hidup mereka seakan sebagai seorang musafir yang terus berjalan menuju Tuhan. Nampaknya para leluhur sejalan dengan pandangan para sufi yang menghargai sebuah perjalanan kehidupan.

Sang Suami:
Benar istriku, bukan hanya para leluhur dan para sufi, perjalanan batin dikenal oleh seluruh umat manusia. Dalam buku “Mengikuti Irama Kehidupan, Tao Teh Ching Bagi Orang Modern”, karya Bapak Anand Krishna, juga disebutkan bahwa ia yang bijak, melewati kehidupan ini, sambil menikmati perjalanannya. Akan tetapi tidak lupa akan jati dirinya. la tidak terikat pada apa pun juga. la yang bijak tidak akan meninggalkan dunia. la tidak akan masuk hutan dan menjadi seorang pertapa. Atau hidup sangat ketat dalam lingkungan ashram, pesantren atau biara. Hidup di tengah keramaian dunia, menikmati segala pemberian alam semesta, tetapi tidak terikat pada apa pun juga. la tidak akan pernah lupa jati dirinya. la tidak akan pernah lupa bahwa ia hanyalah seorang musafir yang sedang melewati kehidupannya. Dengan sendirinya, ia tidak akan menghimpun harta kekayaan dan menambah bebannya. Perjalanannya masih panjang, ia akan menikmati segalanya, tanpa berkeinginan untuk memilikinya.

Sang Istri:
Saya juga ingat bahwa hidup dalam “Tao” berarti mengalir bagaikan sungai, demikian disampaikan dalam buku “Menemukan Jati Diri, I CHING Bagi Orang Modern, karya Bapak Anand Krishna. Sungai yang tidak pernah berhenti, terus menerus mengalir saja. Seseorang berhenti mengalir karena terikat pada sesuatu, karena berkeinginan untuk memilikinya. Orang bijak menganggap dirinya pengembara. la melewati hidup ini tanpa membebani siapa pun juga. Demi keuntungan pribadi, jangan sampai menyusahkan sesama. Keuntungan seberapa pun yang diraih, toh akan tertinggal di sini juga. Perlu dihayati hidup sebagai seorang pengembara...... Ada pejabat arogan berkata, siapa yang dapat mencopotnya. Dia tidak beranggapan sebagai pengembara. Dia pikir dia akan selalu berkuasa selamanya. Mungkin pelajaran sejarah telah dilupakannya. Bahwa para Hitler dan Mussolini serta diktator berkuasa lainnya, ternyata akhirnya jatuh juga. Anggaplah diri sebagai seorang pengembara. Keberadaan di sini hanya untuk sesaat, sementara saja. Melakoni hidup dengan penuh kesadaran, tidak cari musuh, tidak membuat masalah dengan selalu waspada.

Sang Suami:
Bicara tentang perjalanan, para leluhur mengibaratkan tubuh manusia sebagai sebuah kereta. Panca indera dan organ-organ tubuh pelaksana adalah beberapa kuda penariknya. Pikiran, emosi dan hasrat diri sebagai tali kendali bagi para kuda. Sang Jiwa adalah kusir yang mengendalikannya. Jiwa yang sadar akan mematuhi Sang Jatidiri atau Dia, Sang Pemiliknya....... Seseorang yang jalan pikirannya selalu gelisah tidak keruan, karena otaknya penuh dengan berbagai keinginan, dia tidak memiliki kesadaran, maka organ-organ inderanya seakan-akan juga menjadi kuda-kuda liar yang tak terkendalikan. Seseorang yang sadar akan Sang Jati Diri, jalan pikirannya terkendali, maka berbagai indera-inderanya juga terkendali ibarat kuda-kuda yang jinak, dia berada dalam ketenangan...... Oleh karena itu setiap manusia sebaiknya menjadi seorang kusir yang bertanggung jawab, dan dengan demikian sang raga akan dapat dikendalikan dengan sebaik-baiknya. Orang semacam ini disebut sebagai pencari kebenaran, “Sadhaka”. Ia mampu mengendalikan indera-inderanya dengan baik maka disebut “Yukta”. Ia memiliki budi pekerti dan kesadaran yang tinggi sehingga disebut “Vignawan”, Wignya. Ia akan bertahan dalam pencariannya, ia akan mencapai ujung perjalanannya, asal dan akhir penciptaannya. Demikian para leluhur menjelaskan tentang perjalanan batin manusia.

Sang Istri:
Yang membuat manusia terhambat, tidak berjalan ke arah tujuan adalah keterikatan. Pikiran merasakan beberapa kesenangan. Pikiran ingin mengulang kenikmatan dan tindakan tersebut menyebabkan ketagihan. Keterikatan menjadi penghambat perjalanan. Apakah para pejalan harus melepaskan keduniawian?

Sang Suami:
Para leluhur kita mengenal jalan” Tantra”, jalan kuno yang abadi. Tidak perlu melepaskan sesuatu, kecuali keterikatannya saja, karena keterikatan itulah yang mengikat kedua kaki...... Dalam buku “Sandi Sutasoma” dikisahkan seorang Suci loma bekas bhiku menjadi Raja Purushada. Dia sudah tersadarkan, tetapi dia lupa membersihkan diri dari kebiasan-kebiasaan lama. Kekuatan alam bawah sadar yang belum bersih menariknya. Memburu dan makan daging adalah kebiasaan lama Purushada. Ia tidak melakukan olah batin untuk mengeluarkan sisa-sisa kekerasan dalam dirinya. Karena kemalasan adalah sifat utama manusia. Suatu ketika Purusadha makan masakan dari jari tangan kokinya yang terpotong ketika mengiris dan memasak makanannya. Akhirnya dia menjadi ketagihan daging manusia..... Kita harus memperluas makna “makan daging manusia” bagi Purushada. Sifat raksasa keras, kasar, merugikan, memaksa, mau menikmati sendiri, adalah “makan daging manusia”. Harus diselesaikan dahulu potensi dari sisa-sisa kebiasaan lama, dan juga semua obsesinya.

Sang Istri:
Leluhur mengatakan bahwa seseorang yang dapat mencapai kesadaran spiritual adalah dia yang sudah puas dengan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Kalau belum puas, kalau masih ada obsesi terhadap benda-benda duniawi, dia tidak akan berhasil meningkatkan kesadaran diri. Kesadaran diri akan tetap berada pada tingkat bawah, hampir tidak ada kemungkinan untuk meningkat lagi. Akan terjadi penarikan-penarikan diri alam bawah sadar dia sendiri. Berbagai keinginan dan obsesi yang tidak terpenuhi akan menghantui. Perjalanan rohani hampir tidak mungkin dijalani. Dalam kisah Sutasoma Raja Purusadha telah mengalami. Karena itu, sangat penting kepuasan badani, sangat penting kepuasan duniawi, bahkan sangat menentukan keberhasilan dalam bidang spiritual, perjalalan meniti ke dalam diri.

Sang Suami:
Tantra merupakan suatu revolusi dalam bidang spiritual, demikian disampaikan dalam buku “Jalan Kesempurnaan melalui Kamasutra”, karya Bapak Anand Krishna. “Tantra” berarti latihan, eksperimen atau cara. Bereksperimen dengan energi yang berbeda dalam diri yang selama ini disebut energi seks, untuk meningkatkan kesadaran manusia. Itulah Tujuan Tantra. Seseorang tidak usah melepaskan yang duniawi untuk mencapai kesadaran rohani, demikian menurut ajaran-ajaran Tantra. Yang duniawi dan rohani bisa jalan bersama. Dunia merupakan anak tangga yang dapat mengantar ke puncak kesadaran Rohani. Bagaimana seseorang dapat meninggalkan dunia ini?

Sang Istri:
Seks merupakan naluri hewani dalam diri yang ingin memuaskan diri sendiri. Cinta sudah memahami logika sehingga selain menerima juga gantian memberi. Sedangkan kasih melampaui logika untung rugi, sudah bersifat lebih banyak memberi. Tidak mendasarkan pada pikiran yang menghitung untung rugi, tetapi menggunakan rasa di dalam hati. Dari seks atau birahi ke cinta dan dari cinta ke kasih, peningkatan kesadaran ini yang dibutuhkan oleh dunia saat ini...... Kasih atau “compassion” adalah birahi terhadap alam semesta. Seseorang menjadi pengasih, bila napsu birahi terhadap seseorang dapat ditingkatkan menjadi birahi terdapat alam semesta. “Passion” dan “compassion”, kedua kata dalam bahasa Inggris, berasal dari suku kata yang sama. “Compassion” berasal “passion” terhadap alam semesta, terhadap Tuhan, terhadap Yang Abstrak, Yang Tak Dapat Dijelaskan.

Sang Suami:
Dalam buku “Youth Challenges And Empowerment”, karya Bapak Anand Krishna disinggung bagaimana mengubah energi seks menjadi energi untuk berkarya bagi para pemuda. Pengendalian diri perlu dipraktekkan secara nyata. Banyak energi muda, energi yang masih murni, dan berkualitas prima tersia-siakan karena "aktivitas seksual yang berlebihan dan belum waktunya". Sperma dalam diri seorang pria dan sel telur dalam diri seorang wanita adalah “liquid energy”, energi yang berwujud cairan. Inilah energi yang paling murni dan paling dahsyat tak tergambarkan. Energi ini pula yang membuat manusia menjadi kreatif dalam penciptaan. Energi ini janganlah diobral dan diboroskan. Hal ini tidak berarti seluruh kegiatan seks mesti dihentikan. Silakan melakukan, tetapi tidak berlebihan.

Sang Isteri:
Benar suamiku, bagaimana keinginan seks bisa dikendalikan? Itu adalah pertanyaan yang paling sering diajukan. "Bagaimana mengendalikan meluap-luapnya sebuah keinginan?" Jawaban Beliau adalah jangan dikendalikan, tidak perlu dikendalikan. Lebih baik memahami energi yang meluap-luap itu yang “Kreatif” sifat dasarnya. Salurkan energi itu untuk melakukan sesuatu yang jauh lebih kreatif dan lebih besar manfaatnya. Salurkan untuk berkarya. Dengan sendirinya ia tak akan meluap-luap dan mengganggu kita.

Sang Suami:
Energi seks yang sedang meluap-luap itu berupa cairan. Ia akan mencari tempat yang lebih rendah lewat alat kelamin, itulah sifat dan kodrat cairan. Jika saja kita berhasil mengubah energi tersebut menjadi uap yang mempunyai sifat dan kodrat gas. Ia tidak akan bergerak ke bawah melainkan akan menguap ke atas. la akan membuka blokade-blokade dalam otak, sehingga mengalami revitalisasi, lebih aktif, lebih awas.

Sang Istri: Itulah sebabnya Vatsyayana dalam buku Kamasutra mengajak kita untuk mengurusi dulu nafsu birahi. Selama masih terkendali oleh birahi, kita tidak dapat merasakan kehadiran Ilahi. Birahi dapat menyeret kesadaran kita ke tempat rendah sekali. Merasakan kehadiran Ilahi membutuhkan kesadaran kita berada di tempat yang tinggi. Tetapi di ketinggian juga tidak langsung berhenti. Dari ketinggian tersebut, kesadaran meluas lagi. Birahi kemudian menjelma sebagai rindu yang ditujukan kepada Ilahi.


Sang Suami:
Seorang musafir pejalan kehidupan, kemudian nasehat bahwa hidup sekedar berhenti sejenak minum beberapa tegukan, dapat berjalan lancar bila lepas dari keterikatan. Demikian yang dapat kami pahami dari pelajaran Guru yang sangat berharga. Semoga pemahaman ini dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Tanpa praktek nyata, seseorang hanya pandai berdebat saja, belum meningkat kesadarannya. Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva.

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com/

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Mei, 2010.

No comments:

>>>

-



-