24 May 2010

Sang Fenomena

Ketika puluhan mata tombak mengacung dan mengelilingi siap menusuk urat leher, dan puluhan prajurit berbaju besi mengepung dari setiap sudut. Menempatkan sebagai seorang pesakitan yang siap menghiasi tiang gantungan di tengah alun-alun. Seonggok tubuh yang mulai rapuh diseret menelusuri jalan-jalan berkerikil terjal di pinggiran kota. Secuil nyali mulai menciut ketika sejauh mata memandang dari segenap penjuru, di setiap sudut jalan terlihat mata-mata liar memandang penuh api kebencian. berbagai umpatan dan gonggongan riuh rendah memecah keheningan.
Para cecunguk yang kemarin berkoar-koar menantang keblingsatan para agamawan dan politisi busuk kini menyelinap mencari selamat. Menyusup diantara kerumunan massa.
Drama penodaan dan pelecehan terhadap peraturan yang ada telah dituduhkan, berbagai pemberitaan miring dan gumpalan kepentingan sesaat dari para serigala berbulu domba telah berkembang dan menjadi buah bibir dalam masyarakat.
Angin sumilir menyapu langit-langit penjara yang temaram, bau pesing menyelinap menyentak ubun-ubun. Nampak di sudut aura keheningan memancar dari sesosok jiwa yang terikat rantai di sudut ruangan.
Penjara yang berada di tengah-tengah pasar yang sumpek, setiap yang lewat akan menyarangkan ludah di hadapan-Nya, sorot matanya yang dalam, sorot mata yang sepertinya bukan bersasal dari dunia ini, nampaknya belum bisa di pahami. Ia belum bisa di terima, ia masih dan selalu di tolak, ia belum di mengerti oleh khalayak umum.
Oleh penguasa Ia telah dijebloskan kedalam penjara, suara-Nya nampak parau dan tenang, meski puluhan anjing tengik berkepala manusia mulai menggerayangi-Nya. Kasih-Nya tetap berhembus menembus sela-sela.
Ia memang datang kembali mengunjungi bumi, kehadiran-Nya bukan untuk mereka, Ia hadir untukmu untukku. Tampak luar jubahnya penuh noda, tampak luar rambutnya yang tergerai panjang dan nampak kusut, seperti asing dalam benak.
Ia memang aneh, gila dan lain dari pada yang lain. Ia tidak membawa sesuatu, ia tidak nampak mempunyai sesuatu yang bisa di bagikan. Ia hanya punya beberapa kosa kata, dan sebuah tatapan mata.
Selembar kain yang membalut tubuh-Nya pun nampak enggan menempel di pundak-Nya. Oh Tuhan mengapa keberadaan-Mu selalu sulit di cerna, sulit di pahami. Hingga aku kelelahan untuk selalu mengenali-MU.
Suatu hari Engkau pernah bersabda, “Jadikan cinta sebagai agamamu, jadikan kasih sebagai Tuhanmu. Gunakan hanya kata itu. Ya hanya kalimat itu tiada yang lain. Kau tidak perlu belajar hal yang lain. Kau tidak perlu mengotak-atik keberadaan fisikku dengan nalarmu. Tidak perlu. Kau akan gila, camkan dan perhatikan hal itu dengan kesungguhan, suatu hari kau akan memahamiku, cukup dengan satu hal itu "CINTA", maka kau tidak akan tersesat terlalu lama dalam lautan kehidupan ini. Di dalam cinta aku akan senantiasa menemanimu, jangan pernah takut bila kau bertindak atas nama-Nya”
Ya Ia hanya meninggalkan pesan singkat itu untukku, satu-satunya pesan yang ada, pesan yang pertama dan terakhir, dan sebuah tatapan mata yang mendalam, sejuk menembus ulu-hati. Ini terakhir kali ia bertemu dan tersenyum memandangku dari balik terali besi.
Besok siang tengah hari, Ia mesti di eksekusi di tiang gantungan di tengah alun-alun, sekelompok tentara berbaju besi mulai menarikku dan menjauhkan aku dari penjara. Meski mulai menjauh aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari sorot mata-Nya yang agung.

No comments:

>>>

-



-