16 April 2010

Mendengarkan Suara Hati Suara Keheningan


Menggebrak debat kusir

Beberapa pemuda sedang berkumpul ditempat nongkrongnya di sebuah pos perondaan, di depannya terdapat sebuah televisi yang sedang on menayangkan berita hangat. Salah satu dari mereka nampak begitu antusias mulai bercerita tentang berita yang sama yang di siarkan oleh televisi. Dan suara yang terdengar di ruang yang sempit itu mulai tidak jelas tertangkap oleh telinga. Ada persaingan volume antara suara speaker dan riuh rendah suara opini beberapa orang yang berada di dalamnya.

Setiap berita baru yang muncul di layar langsung jadi omongan, tak karuan apa pendapat mereka, seperti para reporter yang ada di TKP, mereka berbicara bersahut-sahutan, hingga terjadi adu debat yang seru diantara mereka. Suara-suara ngotot mempertahankan pendapatnya masing-masing. Suara mereka mulai memecah kesunyian di sore itu.

Tampak salah satu dari mereka yang sejak tadi diam mulai gregetan, dan terganggu dengan berbagai debat kusir yang terjadi. Sambil berjalan ke depan sambil marah- marah pemuda itu mematikan televisi yang sedang di tonton. Dan hal itu tentu saja menuai protes keras. Sang pemuda pun nyeletuk dan bersuara keras: “Lebih baik mendengarkan berita dari mulut kalian, lebih detail dan jelas ketimbang nonton teve, sepertinya kalian tahu persis ya?”.
Mendengar itu sebagian dari mereka seperti di ‘Skak Mat’ mereka terdiam dan satu persatu bubar meninggalkan ruangan.


Anjing menggonggong dan kafilah pun berlalu

Demikianlah yang selalu terjadi bila setiap perkataan dan ucapan yang keluarkan tidak disadari dan kita sering terpancing ritme luaran yang begitu kacau, kita menjadi boros energi.Sering terlihat banyak orang berbicara seperti orang berkumur, ada yang mendengung seperti lebah, atau menyanyi seperti burung kutilang atau beo, bahkan ada yang menggonggong seperti anjing. Orang sering tidak sadar terhadap apa yang sedang di ucapkan, sering lepas kendali dan tidak sadar terhadap tindakan yang dilakukannya.

Ucapan-ucapan yang tidak di landasi kesadaran dan perasaan kontrol dan hening dari dalam diri akan kehilangan makna dan bobot, akibat yang terjadi kita akan terus terpancing untuk terus berbicara, berbicara dan berbicara. Sampai tidak menyadari bahwa yang mendengarkan sudah mulai jenuh dan bosan dengan ucapan kita dan suara kita. Para pendengar bosan dengan suara kita.


Belajar menjadi pendengar yang baik

Jadi teringat pada buku Hidup Damai dan Ceria karya Bapak Anand Krishna, terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama, yang menjadi tema diskusi kami di Anand Krishna Center Surakarta beberapa waktu lalu. Sebuah buku ringan yang sangat rasionalis dan berisi tips-tips sederhana yang aplikatif.

Di situ, di salah satu alenia di jelaskan:
Dengarlah lebih banyak berbicara lebih sedikit. Anatomi tubuh membuktikan hal itu. Kita mempunyai dua telinga dan satu mulut. Telinga tidak mempunyai penutup dan sebelum berbicara suara harus melewati dua pagar yaitu gigi dan bibir kita, jadi sebelum berbicara seyogyanya kita pikirkan dulu dua kali. Jangan lupa kata-kata yang telah terucap tidak bisa di tarik kembali. Seperti odol yang ditekan dengan kuat, sampai seluruh isinya keluar. Terlalu sulit untuk mengembalikan isinya ke dalam tube.

Jadilah pendengar yang baik, dengarlah dengan hati Anda, dan bukan hanya dengan telinga saja. Mendengar lebih baik daripada berbicara; diam lebih baik daripada nerocos bicara.Seorang pujangga wanita Avvaayar, selalu berdoa, “Oh Tuhan apa yang terjadi pada diriku? Berbicara terus, seolah tubuh saya penuh dengan mulut. Kapan saya dapat diam dan merasakan keheningan bathinku sendiri?”

Demikian pelajaran yang kuperoleh untuk hari,
Terimakasih.

Sembah Sujudku untuk Sang Jiwa Agung yang selalu bersemayam dalam dirimu.

Terimakasih Guru,
Terimakasih Para Sahabat,
Terimakasih Keberadaan.

No comments:

>>>

-



-