26 April 2010

Menjadi Bunga Teratai Di Tengah Lumpur Kehidupan Berbangsa


Oleh : Triwidodo Djokoraharjo

Di depan rak buku perpustakaan yang berisi lebih dari 150 buku pemandu kehidupan karya Bapak Anand Krishna, sepasang suami istri bercengkerama. Mereka membicarakan mutiara-mutiara dari buku-buku tersebut.
Sang Istri: Suamiku, di medan perang Kurukshetra, Sri Krishna menyadarkan Arjuna bahwa dia harus memilih antara Kurawa dan Pandawa. Pada saat itu rupanya Arjuna masih sungkan berperang melawan saudara-saudara dan handai-tolannya. Setelah memahami penjelasan Bhagavad Gita dari Sri Krishna dia baru maju berperang melawan adharma..... Siddhartha harus memilih antara kerajaan dan keluarga dengan kesadaran, dan dia melepaskan kerajaan dan keluarganya mengejar kesadaran. Pada saat itu, juga belum ada kepastian apakah pencerahan akan diperolehnya. Pilihannya akhirnya membuat dia menjadi Buddha dan mengurusi keluarga besar umat manusia. Gusti Yesus pun harus memilih, membiarkan para pedagang berdagang di pelataran Bait Allah atau mengusir mereka..... Dan, Kanjeng Nabi Muhammad pun demikian juga. Ketika ditawari jabatan oleh petinggi Quraish - dia pun harus memilih kata hati, suara nurani dan menolak kekuasaan.... Di balik setiap pilihan itu ada unsur penghakiman yang tidak bisa dihindari...... Pada saat ini korupsi, rekayasa, dan kekerasan tengah merajalela di tengah bangsa kita. Dari Jajak Pendapat Kompas pada tanggal 12 April 2010, terdeteksi bahwa kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara sangat rendah. 90% responden menilai aparat berbagai instansi tidak bebas dari korupsi. Bagaimana membuat pilihan yang benar di tengah rimba belantara ketidaksadaran? Bagaimana menjadi bunga teratai yang mekar di tengah lumpur kehidupan berbangsa?

Sang Suami: Para leluhur menyampaikan bahwa setiap saat kita selalu dihadapkan pada pilihan antara Preya dan Shreya. Preya adalah apa yang menyenangkan kita, apa yang menawarkan kepuasan segera untuk indera, untuk pikiran ataupun perasaan. Sedangkan Shreya adalah apa yang baik pada akhirnya. Preya adalah "prinsip kesenangan", melakukan apa yang terasa baik, tidak-peduli apa pun akibatnya. Sedangkan Shreya berarti memilih konsekuensi yang terbaik, walaupun mungkin terasa tidak enak di awalnya. Preya memberikan kesenangan dan kepuasan segera bagi indera dan pikiran serta perasaan kita. Akan tetapi kesenangan tersebut hanya bersifat sementara. Sedangkan Shreya sering di waktu awalnya tidak menyenangkan, tetapi setelah beberapa lama manfaatnya terasa. Di mana pun kita berada, kita selalu dihadapkan pilihan antara Preya dan Shreya. Preya selalu berpakaian menarik, menonjol dan menggoda indera dan selera. Preya adalah sales promotion girl yang handal, yang pandai menawarkan jasa dan meluluhkan ego. Sedangkan Shreya berkepribadian sederhana, dan tidak suka menonjolkan diri.

Sang Istri: Para leluhur mengibaratkan tubuh sebagai kereta dengan lima kuda perkasa, panca indera. Mereka yang menuruti kuda-kuda mereka, sedang mengejar kesenangan indera. Sebetulnya ada tali kendali bagi kuda-kuda tersebut, yaitu pikiran, emosi dan hasrat diri. Si kusir harus lebih kuat pengendaliannya dari pada kuda-kuda indera. Kuda-kudanya harus dilatih mengikuti diri dan bukan mengikuti nafsunya. Bila disuruh memilih antara “yang baik” dan “yang nikmat” biasanya manusia akan memilih “yang nikmat”. Itu sebabnya, seorang anak harus diberi iming-iming kenikmatan permen : “nasinya dihabiskan dulu. Kalau sudah habis, mama berikan permen.” Permen kenikmatan sesungguhnya hanyalah iming-iming. Tidak penting. Yang penting adalah nasi. Bila masih kecil, pemberian iming-iming masih bisa dipahami. Celakanya, kita semua sudah kebablasan. Sudah dewasa, sudah bukan anak-anak lagi, tetapi masih membutuhkan iming-iming “permen kenikmatan”. Kemudian, demi “permen kenikmatan” kita akan melakukan apa saja. Jangankan nasi, uang pajak, anggaran belanja negara, bahkan perkara pun kita makan. Demi “permen kenikmatan”, kita tega bersedia merekayasa apa saja. Agama dan kepercayaan akan kita gadaikan bersama suara nurani.

Sang Suami: Yang menuntut kenikmatan indera adalah mind. Keinginan, keterikatan dan apa yang kita anggap cinta selama ini, semua adalah ungkapan-ungkapan mind. Mind lah yang merasa dapat menjadi kusir dari kereta tubuh kita. Seharusnya mind harus tunduk pada hati nurani. Dia harus mendengarkan suara hati nurani. Hanya nuranilah yang dapat menyelamatkan, yang dapat mencegah terjadinya kemerosotan kesadaran.

Sang Isteri: Suamiku, apa yang menjadi dasar untuk memberi penghakiman pemilihan antara preya dan shreya yang ada di hadapan kita? Bukankah kita tidak dapat menggunakan mind, karena mind akan selalu memilih yang menyenangkan dia, menjauhi yang tidak menyenangkannya dan cuek terhadap urusan orang lain, cuek terhadap masyarakat dan negara?

Sang Suami: Benar isteriku, dasar yang dipakai adalah kesadaran. Bagi orang yang belum sadar, dunia adalah menarik dan bergemerlapan, sedangkan bagi mereka yang sudah sadar, mereka paham bahwa dunia hanya bersifat sementara. Yang menarik dan bergemerlapan bisa memberikan kenyamanan dan kenikmatan inderawi, akan tetapi belum tentu dapat memberikan kebahagiaan. Bagaimana mendapatkan kebahagiaan abadi dari sesuatu yang tidak abadi..... Keterikatan pada harta-kekayaan, pada kedudukan, pada keluarga semuanya harus dikikis sedikit demi sedikit. Tidak berarti kita menjadi asosial, tidak berarti kita meninggalkan keluarga. Tidak demikian. Yang penting adalah meninggalkan rasa kepemilikan. Yang penting ialah meninggalkan keterikatan.

Sang Istri: Mungkinkah manusia hidup tanpa keterikatan?

Sang Suami: Isteriku, kita yakin pada seorang Guru, seorang Master. Walaupun demikian, tanpa keterikatan, seseorang memang tidak bisa hidup. Seorang Yogi yang sudah melampaui segala macam keterikatan akan menciptakan “keterikatan baru” yang bersifat “temporer” untuk bisa bertahan hidup. “Mempersiapkan para murid”, “kedamaian dunia”, “menyebarkan pesan kasih” merupakan beberapa “ikatan temporer” yang biasanya diciptakan oleh para master. Namun, karena ikatan tersebut hasil ciptaannya sendiri, seorang Master mudah memutuskannya. Seorang Master ibarat bunga teratai yang memberikan kebahagiaan kepada lingkungan sekelilingnya. Kaki dia masih terikat pada lumpur keduniawian, tetapi dia tidak terikat dengan lumpur tersebut, dia muncul ke permukaan memberikan kebahagiaan.

Sang Isteri: Terima kasih suamiku, aku ingat buku “The Hanuman Factor, Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO”, karya Bapak Anand Krishna, terbitan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010. Bahwa teratai memang ditemukan dalam kolam berlumpur. Mereka tidak hidup dalam kolam yang airnya bersih. Walaupun demikian, dasar yang berlumpur tidak mempengaruhinya. Mereka tidak menjadi kotor. Mereka tumbuh keluar dari lumpur. Mereka mencari pencerahan sinar matahari. Seharusnya demikianlah kita. Kita tumbuh dan berkembang dalam lumpur dunia dan kebodohan. Kita tak dapat melakukan sesuatu tentang hal ini. Semua elemen pembentuk tubuh kita ada dalam lumpur dunia. Akan tetapi lumpur juga menyediakan kita dengan bahan makanan untuk menjamin kehidupan.

Sang Suami: Benar isteriku, dalam buku tersebut pertama kali dijelaskan bahwa jangan membiarkan dunia membuat kita menjadi kacau. Pada waktu yang sama, kita juga jangan tetap berada dalam lumpur. Selama kita hidup di dunia, sebagian dari diri kita berada dalam lumpur dunia. Bagaimanapun terpisah dari lumpur dunia kita akan menjadi layu. Hidup dalam dunia yang gila akan tetapi tetap menjaga kewarasan dan memunculkan keindahan. Pelajaran kedua adalah belajar dari kelopak bunga dan daun teratai. Mereka tidak basah. Tidak ada yang tersisa pada permukaan mereka. Baik air berlumpur maupun butiran embun tidak ada yang tersisa. Kita harus melampaui dualitas, suka dan duka, bersih dan kotor serta menghadap matahari pencerahan.

Sang Isteri: Kelopak bunga dan daun teratai memberikan contoh tentang ketidakterikatan. Keterikatan membuat manusia takut menghadapi perubahan. Keterikatan membuat manusia ingin mempertahankan sesuatu yang pada dasarnya tidak abadi. Keterikatan menimbulkan keinginan untuk memiliki dan mempertahankan sesuatu, keadaan maupun orang. Keinginan itu tidak selaras dengan alam. Alam tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan sesuatu. Alam membiarkan terjadinya perubahan, bahkan malah memfasilitasinya, mendukungnya. Kita terikat dengan rambut lebat yang masih hitam, maka uban dan botak sudah pasti menyedihkan. Kita terikat dengan harta benda yang terkumpul selama hidup, maka kematian menjadi sulit. Sementara itu, alam tidak pernah sedih karena pergantian musim. Alam tidak pernah menolak perubahan yang terjadi setiap saat.

Sang Suami: Kenapa kita terikat pada sesuatu? Karena kita melihat sesuatu itu berada di luar diri kita, dan timbul keinginan untuk memilikinya. Pernahkah kita merasa terikat dengan ginjal, hati, dan jeroan kita? Kita tidak terikat, karena kita tahu semua itu ada dalam diri kita. Kita bahkan tidak pernah memikirkan mereka. Tidak pernah peduli tentang jantung dan paru, hingga pada suatu ketika kita jatuh sakit.... Kita terlalu menggunakan pikiran, dan pikiran selalu mengarah ke luar. Kita kurang berlatih menggunakan rasa, dan rasa itu berada dalam diri kita, dan kebahagiaan adalah masalah rasa........ Semoga semakin banyak putra-putri bangsa yang merasa berbahagia.

Situs artikel terkait
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

No comments:

>>>

-



-