15 April 2010

Segera Petik Buah Tanaman Kesadaran Sebelum Hama Mafia Rekayasa Menyerbu


Oleh Triwidodo Djokorahardjo

Malam sudah semakin larut dan sepasang suami istri setengah baya masih saja bercengkerama melakukan introspeksi ke dalam diri. Di hadapan mereka terdapat buku “Atisha, Melampaui Meditasi untuk Hidup Meditatif”, karya Bapak Anand Krishna, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2003.

Sang Isteri: Dalam buku Atisha dijelaskan bahwa ibarat mobil, “mind’ hanya punya tiga gigi, suka – tidak suka – dan cuek. Yang disukai dikejarnya, yang tidak disukai dihindarinya dan cuek terhadap urusan orang lain. Selama ini yang dikerjakan mind hanya tiga pekerjaan tersebut. Hidup di zaman sekarang ini, kita selalu menggunakan pertimbangan “mind”, kalkulasi “untung-rugi” sebelum melakukan sesuatu. Mind selalu mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan. Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi merupakan cara cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis, “mind” seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi.

Sang Suami: Pada zaman dahulu ketika alat tukar masih berupa logam emas dan perak, para “raksasa” yang tidak dapat mengendalikan keserakahan melakukan perampokan dan penjarahan. Pada saat ini uang adalah alat tukar yang praktis, bahkan tidak harus membawa uang untuk berbisnis, cukup dengan kartu kredit atau transaksi lewat bank. Hanya saja ketika uang sebagai komoditas mengungguli nilai riil, pusat kekayaan tidak lagi di sawah perkebunan yang luas atau peti besi, tetapi di dunia perbankan, di instansi keuangan, misalnya kantor pajak. Para “raksasa” modern tidak lagi merampok dengan kasar tetapi melakukan “rekayasa”. Penampilan fisik di luar lebih halus tetapi di dalam dirinya, tidak banyak berbeda dengan zaman dahulu....... Untuk mengawasi kegiatan keuangan terdapat kantor atau instansi yang bertugas mengawasi keuangan negara. Untuk merealisasikan program pemerintah maka terdapat kantor atau instansi yang membelanjakan uang negara. Seorang teman memperkirakan total anggaran belanja yang dikelola pemerintah adalah sekitar 15% dari total anggaran belanja yang terjadi di tengah masyarakat. Para penegak hukum dan politisi terlibat di dalam pengawasan masuknya uang dan pengawasan keluarnya uang pembelanjaan atau neraca anggaran biaya dan belanja negara. Dari Jajak Pendapat Kompas pada tanggal 12 April 2010, ternyata kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara sudah sangat rendah. 90% responden menilai aparat berbagai instansi tidak bebas dari korupsi dan yang paling rawan di lembaga penegak hukum dan kemudian politisi. Untuk itu Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Kepala Negara telah menengarai telah terjadi Mafia di berbagai bidang.

Sang Isteri: Suamiku, terus bagaimana pandangan kuno para leluhur yang menyatakan bahwa harta dan tahta hanya "sesampiran", ibarat seledang penutup tubuh. Anak istri hanya "gegaduhan", hanya sekedar diminta memelihara. Dan, nyawa pun hanya "silihan", pinjaman. Bagaimana pula dengan Sayidina Umar sang panglima perang yang sangat “Jawa”, karena beliau berkata bahwa “Pada hakikatnya setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu dan uang yang dimilikinya adalah pinjaman”. Seorang tamu pastilah cepat atau lambat akan pergi, dan pinjaman harus dikembalikan. Kemudian saya pernah baca buku “Mystical Rose”, ketika Maria Magdalena bertanya, “Seperti apa para pengikutmu Gusti?” Gusti Yesus menjawab, “Mereka seperti anak-anak kecil yang tinggal di atas lahan milik orang lain. Kemudian, apabila Pemilik Lahan itu mendatangi mereka dan minta lahannya dikembalikan, mereka akan langsung menanggalkan baju mereka dan langsung mengosongkan tempat itu.” Terus......Bagaimana menerapkan mutiara kebijaksanaan tersebut dalam kondisi seperti pada zaman ini?

Sang Suami: Yang menjadi masalah selama ini adalah definisi tentang kebahagiaan. Adalah ketidaksadaran kita bahwa kebahagiaan itu sebenarnya berada dalam diri kita. Karena ketidaktahuan kita, maka kita mencarinya dari sumber-sumber di luar diri. Mari merenungkan, yang membahagiakan kita bukan orang yang kita temui. Yang membahagiakan kita adalah perasaan kita sendiri – bahwa kita pernah bertemu dengan orang itu. Yang belum memilikinya berpikir harta dapat membahagiakan mereka. Yang telah memilikinya tahu persis bahwa harta pun tidak selalu membahagiakan. Kebahagiaan berasal dari dalam diri. Kita harus menemukan dalam diri. Caranya dengan meniti ke dalam diri........ Pesan para leluhur bahwa kita di dunia hanya sebatas mampir minum, atau sebagai tamu, atau sebagai pemelihara sawah bukan berarti manusia harus hidup dalam kemiskinan, tanpa keluarga. Titik beratnya adalah “ketidakterikatan”. Sri Krishna adalah seorang raja yang kaya, berpakaian indah gemerlapan, istrinya banyak, akan tetapi dia tidak terikat dengan wujud semua kebendaan tersebut. Hartanya digunakan untuk Dharma. Hasrat semangatnya digunakan untuk mencapai Kebenaran Sejati. Manusia yang menggunakan “mind” menggunakan hasrat semangatnya untuk mencari harta, dan melupakan Dharma serta melupakan Kebenaran Sejati.

Sang Isteri: Terima kasih suamiku, jadi Guru Atisha menganjurkan perubahan orientasi – dari “mind”, pikiran ke rasa. Pengalihan orientasi dari pikiran ke rasa membuat seseorang lebih lembut, lebih peka, lebih reseptif, lebih halus, lebih cair..... Walaupun demikian, perubahan saja tidak cukup. Seseorang harus bisa mempertahankan perubahan itu. Apa gunanya perubahan yang bersifat sesaat, sementara. “Mind” yang kita punyai ini bukanlah ciptaan kita akan tetapi ciptaan masyarakat. Ciptaan orang tua, pengajar di sekolah, lembaga agama, peraturan pemerintah, kondisi sosial ekonomi politik serta budaya setempat. Itulah sebab terjadinya konflik antara rasa dan pikiran. Antara suara nurani dan “mind”. Setelah kita dapat membuang pola “mind” lama dan membentuk “mind” baru yang berkesadaran maka terjadilah kelahiran baru, kelahiran kesucian dalam diri.

Sang Suami: Guru Atisha mulai dengan tiga asumsi awal, yaitu: Pertama – Adanya Kebenaran. Kedua – Mind menghalangi penglihatan kita. Ketiga – Mind bisa dilampaui. Inilah hal-hal mendasar – preliminaries – yang harus kita pelajari terlebih dahulu. Guru Atisha menganjurkan agar kita menyadari bahwa kesadaran belum tumbuh dalam diri kita. Kesadaran masih merupakan potensi yang terkembang. Kita berpotensi jadi Buddha, mencapai kesadaran Kristus, tetapi belum menjadi, belum mencapai. Dan kita harus menyadari hal itu. Yang membuat kita melekat dengan badan kasar, yang membuat kita masih hidup adalah “mind”. Yang membuat kita gelisah pun juga “mind”. Kita perlu berusaha memahami “mind” dengan penuh kesadaran. Membebaskan diri dari mind dengan membuat ketiga pekerjaannya sebagai tiga landasan kebijakan. Suka – sukailah kesadaran. Tidak suka – tidak sukailah ketidaksadaran. Cuek – cueklah terhadap yang menghujat dan menyepelekan kita.

Sang Isteri: Guru telah memberikan ciri-ciri seorang pengikut Gusti Yesus. Pertama, mereka berjiwa tulus, polos lugu seperti “anak kecil”. Kedua, ia yang sadar bahwa dunia ini bukan “milik”-nya. Ia tidak terikat dengan “dunia benda”. Ketiga, seorang pengikut siap menghadapi kematian “raga” kapan saja.

Sang Suami: Guru Atisha menyampaikan agar jangan lupa tujuan manusia berada di atas “panggung” sandiwara kehidupan yaitu untuk menghibur. Inilah "kesadaran". Aku berlindung pada "Kesadaran Murni". Jangan lupa peranmu, lakonmu, "dharma"-mu. Bermainlah sesuai dengan peran yang diberikan padamu. Aku akan selalu mematuhi dharma, peran yang diberikan padaku. Jangan lupa bahwa kau berada di sini untuk menghibur diri dan menghibur orang lain, bukan untuk menyusahkan orang. Mencelakakan orang. Aku selalu memikirkan "sangha", komunitas, masyarakat, bangsa.

Sang Isteri: Inilah maksud ayat yang kubaca di buku tulisan Guru. Kehadiran seorang Guru dalam hidup kita membuktikan bahwa waktu panen kesadaran sudah tiba. Celakanya kita tidak sadar bahwa sesungguhnya kita sudah siap. Seperti orang yang kebingungan, kita masih membuang-buang waktu. Masih lihat kiri-kanan, entah apa yang sedang kita cari. Sampai Guru gregetan, Mana aritmu? Cepat-cepat dipotong dong! Kalau tidak cepat-cepat dipotong, padi kita akan dimakan hama ketidaksadaran: burung, tikus, pencuri, banjir, atau mafia rekayasa. Upaya kita selama bertahun-tahun akan sia-sia.

Sang Suami: Dan Guru Atisha belajar pada Guru Besar Dharmakirti Svarnadvippi dari Sriwijaya. Kemudian Guru Atisha menyebarkannya di Tibet. Ajarannya yang terkenal adalah meditasi “Tong-Len” atau “Terima-Kasih”. Nenek Moyang kita akan “Menerima” segala apa pun yang diberikan kepada mereka dan mereka akan mengembalikannya dengan “Kasih”. Sudah waktunya ajaran Buddhi ini menyebar ke seluruh Nusantara. Apa pun agama yang kita anut, kita warnai keyakinan kita, kepercayaan kita dengan “Kesadaran”.

Situs artikel terkait
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

No comments:

>>>

-



-