18 July 2010

Ayat-Ayat Penari

“Yang tak siap memasuki Gerbang itu, pergilah sebelum Aku mencintai-Mu.”
(Ayat 1)
“Datanglah ke mari, wahai Sahabat Tercinta. Sentuhlah kedua tangan-Ku dengan ujung jemari-Mu. Datanglah ke mari, wahai Sahabat Tercinta. Marilah menari bersama-Ku, marilah Kita tarikan kehidupan dan kematian, marilah Kita bebaskan diri dari kesia-siaan pencarian, marilah Kita satukan seluruh napas bersama gerak sunyi kuntum-kuntum yang bermekaran, marilah Kita lepaskan kebencian bersama daun-daun yang berguguran.”
“Datanglah ke mari, wahai Sahabat Tercinta. Tak ada yang perlu Kaulakukan lagi, tak ada yang perlu Kaukatakan lagi, kini cukuplah Kau menjadi Sang Saksi dari tarian agung kehidupan yang bersama tengah Kita mainkan. Teruslah menari bersama-Ku, janganlah Kaulepaskan genggaman jemari-Mu dari tangan-Ku, teruslah menari di dalam Cinta, hingga akhirnya Kita pun dapat tenang istirah di dalam pelukan-Nya.”
(Ayat 2)
“Cinta! Inilah jiwa dari jiwa para Penari Agung Kehidupan. Tetapi, di manakah pula akan Kita rasakan belain halus jemari-Nya? Di manakah akan Kita cium wangi tubuh-Nya? Di manakah akan Kita dengar suara merdu-Nya? Di manakah akan Kita pandang keindahan wujud-Nya sehingga Kita pun dapat memeluk, menyentuh, dan mengecup-Nya? Hanya, di sini, di dalam keheningan hati para Penari yang terbakar oleh Cinta, di dalam Kesunyian Maha Agung yang senantiasa menyala: Kita akan dapat bersenda dan memandang keindahan wajah-Nya.”
(Ayat 3)
Kini telah Kutinggalkan semua pencarian yang sia-sia, semua ibadah rutin yang tanpa jiwa, semua nasehat munafik para ulama, semua dogma buta para pendeta, semua janji-janji hampa para filsuf dan silang-saling permainan logika, ya, kini telah Kutinggalkan semua pikiran yang Kuanggap paling berharga. Kini semua ilusi itu telah Kulepaskan hanya agar Aku dapat penuh berpasrah dan meletakkan kening-Ku di lantai kuil-Nya. Kini seluruh ibadah-Ku telah menjadi abu di kaki suci-Nya.
(Ayat 4)
“Aku tak lagi peduli apakah Mereka akan menyebut-Ku kafir atau murtad. Aku tak lagi peduli apakah Mereka akan mengerat, menyayat, atau mencincang tubuh-Ku. Kini telah Kutinggalkan cahaya kematian bersama dengan padamnya nyala api pikiran. Kini telah Kumasuki Cahaya-Kegelapan tanpa rasa takut dan harapan. Aku telah cukup menjadi mabuk oleh pandangan mata-Nya yang menyala-nyala bagaikan kobaran Api di Bukit Tursina. Kini Kubiarkan seluruh tubuh-Ku terbakar tatapan mata-Nya.”
(Ayat 5)
“Janganlah takut kepada-Nya, wahai Sahabat Tercinta, janganlah tertipu oleh janji keselamatan yang keluar dari mulut para penjual agama. Sebab, di dalam Kesunyian Yang Maha Agung ini, hanya ada Cinta dan Cinta dan Cinta yang tiada bersyarat dan tiada berhingga.”
(Ayat 6)
“Sengaja Kutuliskan kesaksian ini untuk-Mu, duhai Sahabat Tercinta.”
“Tidak! Janganlah sebut Aku sebagai sesuatu, sebab Aku bukanlah siapa-siapa. Aku tidak sedang berjuang untuk menjadi diri-Ku, atau menjadi suatu pribadi yang bukan diri-Ku. Aku telah sempurna sejak semula sebagaimana ada-Nya.”
“Tidak! Jangan pula sebut Aku sebagai seorang pencari kebenaran, sebab saat ini Aku tak sedang berjuang untuk mencari kebenaran, atau sibuk mengejar tujuan-tujuan kosong lainnya. Aku telah sempurna sejak semula sebagaimana ada-Nya.”
“Tidak! Jangan sebut Aku sebagai seorang penguasa yang sibuk menyihir dunia untuk menutupi rasa sakit dalam batinnya. Dan jangan pula samakan Aku dengan para petualang yang sibuk menjual ayat-ayat agama untuk memuaskan hasratnya. Tidak! Aku telah sempurna sejak semula sebagaimana ada-Nya.”
“Sengaja Kutuliskan kesaksian ini untuk-Mu, duhai Sahabat Tercinta, karena Aku hanyalah Sang Saksi yang tengah asyik memandang kemilau cahaya purnama, atau terbitnya bintang fajar di langit utara, atau mekarnya bunga-bunga rumput di halaman sebuah taman yang telah lama ditinggalkan pemiliknya. Dan seandainya para pemarah itu menganggap kesaksian-Ku ini sebagai sesuatu yang tiada berharga, atau sebagai perbuatan bodoh orang biasa, maka biarlah Kukatakan
“Aku telah sempurna sejak semula sebagaimana ada-Nya.”
(Ayat 7)
“Kita telah berulangkali jatuh di jalan yang sama, tapi janganlah menyerah untuk bangkit kembali. Kita telah berulangkali jatuh di lubang yang sama, tapi janganlah ragu untuk bangkit kembali. Jangan tanyakan apa makna perjalanan ini.”
“Jangan tanyakan bagaimana caranya Kita bangkit kembali. Cukup pejamkan mata dan temukan kembali Cahaya-Kegelapan yang senantiasa berpendar di dalam batin Kita. Lalu, jadilah Cahaya-Kegelapan itu sendiri. Lupakan tujuan dan jadilah perjalanan! Marilah Kita leburkan seluruh keraguan di dalam debu kepasrahan, marilah Kita larutkan seluruh kebencian di dalam embun kedamaian.”
“Marilah kita menari bersama para Sahabat Tercinta yang telah memandu Kita sepanjang ribuan tahun perjalanan. Kini saatnya Kita merayakan Kehidupan, kini saatnya Kita menarikan Kehidupan!”
 (Ayat 8)
“Wahai, Sahabat Tercinta, Kunyatakan kini pada-Mu: sejak semula Kita adalah Kesadaran Murni. Sejak semula Kita tak pernah lahir dan tak pernah mati. Sejak semula Kita tak pernah terpisah dari semesta. Sejak semula Kita tak pernah berdosa. Sejak semula Kita senantiasa bebas dan berbahagia.”
(Ayat 9)
“Rayakanlah Kekosongan ini! Itulah artinya mati sebelum mati. Rayakanlah Kekosongan ini dengan seluruh tubuh-Mu, pikiran-Mu, hati-Mu, dan keberadaan-Mu. Tak ada dosa, tak ada pahala, tak ada surga, tak ada neraka, tak ada dunia sini, tak ada dunia sana, ya!, tertawakan semua permainan kata-kata kosong itu, kata-kata itu hanya untuk menakuti dan menghibur-Mu.”
“Bangun! Karena kini Kau bukanlah semua itu!”
“Rayakanlah Kekosongan ini! Itulah artinya mati sebelum mati.”
“Rayakanlah kebebasan-Mu, rayakanlah kematian kata-kata dan pikiran-Mu, rayakanlah saat Kau menyadari bahwa ternyata Kau adalah Keberadaan itu sendiri. O, rayakanlah hidup-Mu bersama gelora Cinta yang menggerakkan dan menghidupkan semesta. Tak ada masa lalu, tak ada masa depan. Tak ada harapan, tak ada ketakutan. Tak ada sang pelaku: tak ada Kau, Aku, atau Dia. Bangun! Kita adalah segala sesuatu: kita adalah Satu!”
“Bangun! Karena kini Sang Pencipta akan bersujud di kaki-Mu.“
(Ayat 10)
“Menjadi Yang Ilahi berarti menjadi seorang Hamba, menjadi Pelayan Sejati bagi kebahagiaan Sesama. Ia selalu hidup dalam sukacita. Matahari dan bulan akan selalu melantunkan lagu Cinta bersama-Nya. Langit dan awan-awan akan senantiasa menari dalam hati-Nya. Karena kini Ia bagaikan setetes embun yang telah kembali kepada samudera, Ia telah menyadari Jatidiri-Nya sebagai Yang Maha Ada, dan yang tersisa dalam diri-Nya hanyalah Cinta. “
“Menjadi Yang Ilahi berarti menjadi seorang Hamba, menjadi Pelayan Sejati bagi kebahagiaan Sesama. Dalam setiap perkataan-Nya terkandung keheningan. Dan dalam setiap keheningan-Nya terkandung firman. Ia bekerja dengan hati yang gembira. Ia tak lagi memiliki harapan, karena seluruh hidupnya telah menjadi sebuah perayaan.”
“Dialah Sang Penuntun itu, Dialah Sang Guru, Dialah Perwujudan Ilahi yang turun ke bumi. O, Sahabat Tercinta, menarilah selalu bersama-Nya, niscaya hidup-Mu akan menjadi keberkahan bagi semesta.”
Jalaluddin Rumi, The Master of Whirling Dance.

No comments:

>>>

-



-