21 July 2010

Kekerasan Atas Nama Fatwa



Oleh Muhamad Guntur Romli Aktivis Jaringan Islam Liberal

Kekerasan terhadap jemaah Ahmaddiyah Indonesia kembali terjadi. Sekitar seribu orang menyerbu perkampungan Ahmaddiyah di Neglasari Desa Sukadana kecamatan campaka Cianjur, jawa Barat. Senin (19/9) malam hingga Selasa (20/9) dini hari (Koran Tempo, 21/9) seperti dikeyahui ajaran Ahmadiyah di vonis sesat oleh majelis Ulama Indonesia. Saya tidak ingin menghubungkan fatwa MUI dengan tindakan criminal itu. Apalagi dalam rapat dengar pendapat umum antara Komisi VII DPR yang antara lain membidangi masalah keagamaan, dan MUI (31/8) Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma‘ruf Amien menafikan keterkaitan antara fatwa MUI dan aksi-aksi kekerasan (Jawa Pos, 1/9). Pernyataan senada disampaikan oleh Ma‘ruf Amien berkali-kali dalam pelbagai kesempatan. Dalam pertemuan itu juga, anggota Komisi VII, Agung Sasongko, “meminta MUI mengeluarkan fatwa baru mengenai larangan penyelesaian perbedaan pendapat lewat tindakan anarkhis dan kekerasan.”

Meskipun demikian, nasip malang jemaah Ahmadiyah itu mengajak kita kembali untuk bersikap kritis terhadap fatwa maupun pendapat yang bisa memancing emosi masa. Tentu saja dalam materi fatwa MUI, tidak ada klausul untuk menyerang dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang dianggap ‘sesat‘ dan ‘diharamkan‘. Namun sepanjang sejarah umat islam, fatwa yang bermodel seperti itulah yang paling efektif menggerakkan nalar dan emosi manusia untuk melakukan tindakan kekerasan dan main hakim sendiri.

Dalam konteks umat islam yang masih dibelenggu doktrin fikih klasik, kelompok atau individu yang sudah divonis ‘murtad‘, ‘kafir‘ atau ‘sesat‘ berarti telah dihalalkan untuk dibunuh! Secara sewenang-wenang, mereka menggunakan, mereka menggunakan sebaris hadist, “Man baddala dinahu fagtuluhu” (“barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”). “mengganti agama” dimaknai murtad, kafir, atau sesat. Fatwa tersebut seperti vonis dalam pengadilan in absentia, tanpa klarifikasi dan pembelaan, dengan dakwaan sepihak. Meskipun demikian umat islam yang awam yidak mau tahu dengan prosedur yang tidak sehat itu, yang ditangkap hanya ujungnya; orang ini murtad, kelompok itu sesat maka dibunuh saja!

Penggunaan idiom-idiom teologis pada fatwa-yang pada hakekatnya adalah “opini legal manusia”, mampu meniupkan roh kekuatan dan kebanggaan bagi siapa saja yang bersedia “mengorbankan dirinya” untuk menjalankan “misi suci” itu. Imam Samudra, terpidana kasus bom Bali, tersenyum tidak merasa bersalah atau berdosa, bahkan bangga, setelah membunuh ratusan orang-orang sipil di Bali, yang diyakini sebagai jihad.hukuman mati baginya dianggap sebagai pintu menuju kesyahidan: masuk sorga tanpa hisap.

Dalam sejarah islam klasik mudah dijumpai fenomena seperti itu. Abu Bakar menjatuhkan fatwa “murtad” terhadap kelompok yang tidak mau menyerahkan zakat sehingga wajib diperangi. Pada awalnya, para sahabat tidak setuju dengan fatwa seperti itu. Menurut Umar misalnya dakwaan murtad tidak tepat bagi orang islam yang masih bersyahadat dan shalat, namun Abu Bakar tetap bersikeras, otoritas seorang khalifah tidak bisa di tolak.

Muhamad Imarah dalam bukunya, Al Islam walhuruh al-diniyah, menorehkan catatan kritis terhadap sejarah “perang terhadap orang murtad” (harb al murtaddin) itu label bukan murtad dalam ranah teologis—dalam arti, keluar dari agama—tapi dalam ranah politis. Kelompok itu bukan tidak mau membayar zakat, tetapi tidak mau menyerahkan zakat kepada pemerintah pusat yang dipimpin oleh Abu Bakar. Pemikir Islam asal Maroko, Muhamad abid jabiri, memberikan kesan yang sama. Perang itu menjaga formasi kedaulatan islam yang masih dini.

Namun, penggunaan label ‘murtad‘ itu tetap bermasalah hingga kini. Kebanyakan umat islam tetap memaknainya secara teologis. Kelompok yang di vonis ‘murtad‘ atau kafir wajib di perangi, seperti yang dilakukan oleh abu bakar. Khlifah ketiga Utsman Bin ‘Affan, mengalami nasib yang tidak jauh berbeda, dia di tuduh ‘melampaui wewenangnya pemimpin umat islam yang di gariskan oleh Allah dan Rasul-Nya’ alias ‘kafir‘. Setelah Fatwa itu keluar: Utsman Bin ‘Affan pun di bunuh. Ali Bin Abi Thalib, khalifah keempat, juga di jatuhi fatwa mati oleh kelompok Khawarij, yang sebelumnya mendukung Ali. Menantu Rasullulah itu dituduh ‘percaya pada hukum manusia‘ karena setuju dengan arbitrase (tahkim) yang merupakan akal-akalan Mu‘awiyah, musuh pol[tik Ali. Padahal menurut Khawarij, ‘tiada hukum selain hukum Tuhan’ (Id hukm illd Allah). Kelompok radikal itu secara sewenang-wenang menafsirkan ayat 44, 45, dan 47 surat Al Maidah. “Seorang yang tidak menggunakan hokum Allah, maka dia Kafir, zalim dan Fasik.” Hukuman bagi orang kafir, zalim dan fasik adalah di bunuh. Fatwa yang keluar; Ali, Mu‘awiyah, dan Amr Bin Ash telah kafir, zalim dan fasik. Ali Bin Ibi Thalib terbunuh, sedangkan Mu‘awiyah dan Amr bin Ash selamat.

Demikian salah satu episode kelam dari sejarah umat islam. Fatwa-fatwa Otoriter terbukti sangat efektif menimbulkan tindakan anarkis dan kekerasan. Dalam sejarah umat islam modern, petaka itu kembali terjadi. Syeh Muhammad al-Dzahabi, ulama Al Azhar yang mumpuni dibunuh setelah di jatuhi fatwa murtad dan kafir oleh Jamaah takfir wal jihad (kelompok pengkafir dan jihad). Farag Fauda ditembak mati di halaman rumahnya oleh pengikut kelompok radikal setelah atasannya menjatuhkan fatwa kafir dan murtad terhadap dia. Percobaan pembunuhan juga di alami oleh novelis Naguib Mahfouz setelah ada fatwa bahwa novelnya Awlad Haratina, bertentangan dengan islam. Sedangkan di Sudan pemikir islam Muhammad Mahmoud Thaha di gantung sampai mati setelah divonis murtad.

Karena itu, fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut individu, kelompok, atau aliran sebagai ‘sesat‘.‘kafir‘ dan ‘murtad‘ merupakan tindakanpembunuhan karakter (character assassination) dalam ranah teologis yang acap kali di ikuti dengan pembunuhan fisik. Seorang intelektual mesir, Muhamad Said Asymawi, menyebut fatwa-fatwa model itu sebagai ‘Terorisme Pemikiran’ (al-irhab al-fikri) yang sering berujung pada ‘kekerasan dan terorisme yang sebenar-benarnya’ (al-irhab al-haqiqi wal ‘unf al-haqiqi ).

Padahal fatwa-fatwa seperti itu bertentangan dengan mekanisme fatwa dalam tradisi hukum islam. Fatwa itu relative, kondisional, dan fleksibel. Lebih penting lagi tidak otoriter. Seruan Khaled Abou el-Fadl (2003) untuk melawan otoriterisme fatwa layak di apresiasi. Bagi Khaled, hukum islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman ( Islamic law has staunchly resisted codifications uniformity). Metodologi hukum islam memiliki cirri yang terbuka dan antiotoriterisme (traditional Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character). Namun, yang menjadi persoalan dewasa ini adalah kecenderungan praktik hukum islam yang memperlakukan syariat islam sebagai perangkat aturan (ahkam) yang mapan, statis, dan tertutup yang harus di terapkan tanpa menyisakan ruang yang luas untuk pengembangan dan keragaman. Singkatnya hukum islam pada era modern ini di pandang sebagai perangkat aturan (ahkam), bukan sebagai proses pemahaman (fiqh). Kecenderungan ini berpotensi melahirkan otoriterisme dalam memahami hukum islam.

Nah, jika MUI telah mengeluarkan fatwa yang mendamaikan, toleran, dan apresiatif terhadap pluralitas pendapat, lembaga ulama ini tidak perlu capek-capek memberikan pernyataan yang menafikan antara fatwa itu dengan tindakan-tindakan kekerasan yang saat ini terjadi. Wallahualam!


No comments:

>>>

-



-