20 July 2010

Premanisme Agama


Penulis : Tom S. Saptaatmaja, teolog alumnus Seminari Vincent De Paul.

Cendikiawan muslim Djohan Effendy, dalam diskusi tentang kerukunan umat beragama di konferensi wali gereja Indonesia (KWI) jumat (16/9/2005), mengungkapkan kekhawatirannya terkait dengan kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia, yang pada saat ini berada dalam titik terendah. Persatuan dan kesatuan antar warga bangsa seperti api di dalam sekam yang siap terbakar dan tersulut. Ini semua terjadi karena negara dan aparat penegak hukum terus membiarkan aksi anarkisme yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berkedok keagamaan untuk melakukan terror, menutup tempat ibadah, menyerang jemaah Ahmadiyah dan memprovokasi masyarakat.

Politisasi dan premanisme agama di manapun memang selalu memprihatinkan. Di Negara kita, ini benar-benar menjadi pekerjaan dari orang-orang yang tega memperalat agama untuk hal-hal destruktif. Akibatnya agama yang seharusnya membawa pesan kesejukan dan kedamaian kini justru sering memekikkan pesan ancaman dan terror. Para preman berjubah itu memang begitu bahagia jika ada darah tertumpah atas nama Allah. Memang konyol jika Allah dilibatkan untuk tindak kekerasan atas nama-Nya.

Begitulah jika terjadi perselingkuhan antara agamawan dan politikus atau polisi, ujung-ujungnya bisa dipastikan akan lahir beragam kesewenang-wenangan atas nama kebenaran agama. Dengan anggapan kebenaran agamanya sendiri sebagai yang paling benar, semua kebenaran lain diukur dari kebenaran itu sehingga terjadi monopoli tafsir agama. Jika ada tafsir lain atau kebenaran lain di luar agamanya, penghakiman atas pihak lain yang berbeda paham atau pendapat seolah menjadi hal yang sah. Jika demikian, agama akhirnya hanya menjadi belenggu dari pada pembebas. Agama akhirnya terpasung karena yang dikedepankan bukan penyatuan manusia, melainkan justru memecah belah kemanusiaan.

Di era Orde Baru, kita sudah menyaksikan kekerasan oleh Negara, dari korban tragedy 1965 hingga munir, kita melihat kebiadapan dan ketidakadilan bagi korban dan terus diupayakan adanya impunitas yang sempurna, sehingga para pelaku pelanggaran hak asasi manusia atas nama Negara itu benar-benar tak tersentuh hokum. Akibatnya jangan tanyakan keadilan bagi korban, karena keadilan hanya menjadi wacana yang menyakitkan hati.

Kini berkolusi dengan Negara, agamawan-agamawan yang berjiwa premansedang berupaya merusak rumah yang bernama Indonesia yang didirikan para fonding father bagi semua orang, yang beragam agama dan keyakinan. Budiman sudjatmiko sudah mengingatkan, salah satu kendala besar kita dalam merawat Indonesia adalah adanya segelintir orang yang merasa paling memiliki Indonesia dan berupaya memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Jika kekerasan Negara saja sudah demikian mengerika, apa jadinya jika kekerasan agama itu hendak di bumbui dengan sentiment agama?

Dari berbagai konflik dan perang atas nama agama di dunia, seperti perang salib atau perang 80 tahun di Eropa antara protestan dan katolik pada abad ke-16 dan ke-17 atau perang di bumi irak saat ini, kita hanya bisa melihat satu kenyataan mengerikan: sebuah kekalahan telak bagi kemanusiaan. Konflik yang melibatkan agama hanya akan membuat agama bagian dari permasalahan dan bukan pemberi solusi bagi kehidupan manusia. Apakah memang seperti itu tujuan agama? Jika seperti itu biarkan almarhum John Lennon bangkit dari kuburnya dan kembali menyanyikan lagu Imagine; ―Bayangkan jika tidak ada negara, demikian juga agama, maka kehidupan di dunia ini akan lebih damai.‖

Memang kolusi antara preman berjubah dan politikus seperti di suarakan akhir-akhir ini harus segera dicermati bahayanya, mereka yang bervisi inklusif, pengikut pemikiran almarhum cak Nur, harus segera merapatkan barisan, bukan untuk berperang melawan para penganut eksklusivisme, melainkan untuk menyadarkan bahwa aka nada bahaya besar jika kita tega memainkan sentiment dan isu agama di negeri yang kini sudah sumpek dengan 1001 masalah ini. Kita jangan menciptakan perang salib atau mengusung perang Irak di bumi Indonesia. Konflik Ambon dan Poso bisa kita jadikan cermin betapa agama telah menorehkan noda hitam dalam perjalanan bangsa ini. Apakah itu harus kita ulangi lagi?

Memang mereka yang berpaham eksklusif akan terus mencari legitimasi teologis dari pembedaan yang terus mereka suarakan, mereka gemar mengadakan pembedaan tajam antara mereka dan orang di luar kelompok mereka. Mereka merasa sebagai orang yang terpilih oleh Tuhan untuk membawa amanat-Nya. Mereka merasa memiliki hak istimewa sehingga tuhan saja bisa diperalat seenaknya. Semua yang mereka lakukan atas nama Tuhan. Termasuk ketika mengobarkan semangat kebencian kepada orang lain yang tidak sejalan. Mereka merasa memiliki hak-hak istimewa sehingga mereka bisa menghapus hak-hak orang di luar kelompok mereka. Hak orang lain untuk meyakini keyakinannya, hak orang lain untukberagama dan beribadah sesuai dengan HAM-nya, bisa di eliminasi oleh orang-orang yang merasa memiliki privilese dari Tuhan itu. Mereka merasa benar-benar sebagai pembela Tuhan, padahal kalau Dia memang maha besar, apakah masih membutuhkan pembelaan, Tanya Gus Dur dalam berbagai kesempatan.

Tulisan ini akan penulis akhiri dengan kisah dari Bawa Muhayaiddeen. Menurut sufi dari Amerika serikat itu, setiap penganut agama adalah musafir yang sedang mengembara di gurun pasir untuk menuju suatu tempat keabadiaan.

Kita ibaratnya sedang mencari air kesejukan di sebuah oasis untuk bekal dalam perjalanan panjang ini. Sesampai di oasis itu, sebagian besar manusia lupa mengambil air kesejukan karena lebih suka melihat perbedaan wadah air itu. Ada vyang membawa wadah air dari logam, adayang dari kuningan, ada yang dari kayu, dan sebagainya. Manusia saling menyalahkan bahwa wadah yang dibawa orang lain salah karena seharusnya orang lain itumemakai wadah seperti yang dimilikinya. Mereka juga sering beradu pendapat, berkelahi bahkan saling membunuh. Ketika waktunya telah habis, mereka tidak sempat mengisi wadahnya dengan air kesejukan.

Sumber: Koran Tempo Edisi Jumat, 23 September 2005


No comments:

>>>

-



-