01 August 2010

Menyederhanakan dan Merayakan Hidup


Oleh ; Sigit Suryono
Aku mulai meyakini bahwa menjadikan diri layak untuk cinta adalah realitas puncak dari keberadaan diri hadir ke panggung dunia ini. Ketika suatu saat aku berdiri di tengah-tengah kehidupan dan memandang setiap kejadian di sekeliling, aku mulai menangkap sinyal-sinyal.


Menangkap setiap detik dari moment dan mencoba memahami setiap alurnya, Aku mulai mendapati diriku dalam keyakinan dan rasa yang teguh. Dan rasa menandai setiap pengalaman yang singgah dalam kehidupanku sebagai cermin-cermin.

Dalam kedalaman nurani aku mulai merasakan dan mendapati setiap detak dari jantung kehidupan mulai mengarah kepadaku, setiap peristiwa mulai beraksi dan berbicara dengan kedalaman jiwaku. Sungguh aku merasa tiada suatu kebetulan di dunia ini. Setiap hal yang datang menyapa dan singgah dalam arus waktuku sama persis seperti yang kuangankan. Setiap hasrat murni yang dipelihara didalam benak akan menjelma nyata tepat pada waktunya,

Seperti orang bercocok tanam, ada masa mengolah lahan, menyemai bibit, memupuk, memelihara, dan memastikan bahwa setiap benih bisa bertumbuh secara alami dan baik. Ketika setiap tahapnya telah selaras maka dengan mudah dapat dipastikan kapan masa tanam dan kapan masa panen.

Pun demikian pula dengan setiap tindakan kita, meski pada prakteknya sering tersamar oleh permainan sang waktu, setiap benih hasrat akan bertumbuh untuk menuntun setiap hasrat yang lain yang terlahir, memastikan kita tetap berjalan, menelusuri arus hidup dan menggapai kesejatian.

Segalanya hilir-mudik bergantian menampakkan diri, merayu untuk di mengerti. Disini dititik ini, di titik dimana aku berdiri dan memandang keluasan semesta yang tak berujung. Aku mulai melihat segalanya begitu sempurna dalam keagungannya. Segalanya begitu sempurna pada tempatnya. Ya pemahaman itu ku peroleh ketika aku membalikkan alur pandanganku dan pemahamanku.

Lingkar luar sungguh terlalu luas, kedalaman diri menanti untuk diselami.  Maka aku mulai mencoba memusatkan setiap jengkal langkah untuk kembali meniti langkah kedalam. Dan memusatkan setiap persoalan dan hiruk-pikuk hidup kedalam diri.

Sekian lama mengamati dan memahami benang kusut permasalahan, kini mulai kudapati setiap helai benang yang mengikat satu persatu terlepas. Ya, terlepas dengan sendirinya tanpa paksaan. Karena tiada alasan baginya untuk berlama-lama menjerat, karena aku tak lagi berupa benda padat ego, tetapi benda cair jiwa yang rendah hati.

Ini bukan tentang kesombongan diri, tetapi mengenai pemahaman diri, menjadi diri sendiri, menjadi diri apa adanya. Memandang diri sebagai diri yang tidak tinggi maupun rendah. Tetapi menempatkan diri sebagaimana adanya.

Langkah pertama sekaligus langkah terakhir adalah meniti kedalam diri. Ketika kekuatan itu menjelma dan meneguhkan diri dalam keheningan yang mendalam. Segalanya mulai terlihat terang dan mudah. Suatu yang indah sesuatu yang memberikan kedamaian dan kelegaan satu persatu mulai muncul dari kedalaman diri, mengurai setiap peristiwa menjadi pengalaman, mengupas setiap pengalaman menjadi sebuah pemahaman.

Ketika semua pemahaman dan pengetahuan mengalir tanpa henti memenuhi rongga-rongga jiwaku, aku mulai merasakan sesuatu yang bermakna mulai hidup dan menghidupi.  Setiap aktivitas mulai terarah ketika disadari bahwa hal-hal luaran yang terjadi, terjadi karena lemahnya kendali  terhadap aktivitas panca indra serta liarnya pikiran yang mengendalikannya. Dua hal yang saling mengikat satu sama lainnya. dimana salah satu terkendali maka yang lainnya akan terkendali juga.

Menyadari masa sewa tubuh yang terbatas, aku mulai mencoba berlatih fokus pada hal-hal utama, dan mulai menomorduakan hal-hal yang kuanggap remeh. Walaupun pandangan itu berbeda bagi setiap orang.

Namun kini ini aku mulai merasakan sepertinya ‘Segala sesuatu itu indah dan telah sempurna pada tempatnya’. Berjalan menyusuri alur kehidupan adalah kehendak jiwa abadi yang sedang berhasrat untuk menuangkan keindahan dalam langkah-langkah. Sang abadi sedang melukiskan diri-Nya, dalam kereta-kereta raga manusia, bukan untuk apa-apa, tapi ia sedang mencipta permainan untuk sekedar menghibur diri-Nya.

Semua ini hanya sekedar permainan-Nya, seluruh alam raya dan segala tatananya sesungguhnya berpusat pada-Nya, dititik terdalam yang ada hanya dia, di lingkar luar yang ada juga hanya dia, dimana-mana yang ada hanya dia, sang kreator Agung.

Kini, saat ini Ia sedang menari, sedang menyanyi, tariannya mengerakkan bintang-bintang, tariannya menggoyang rumput-rumput ilalang. Tariannya menggerakan gugus bintang, tarian yang begitu lembut, tariannya menjangkau segala hal, menggerakkan setiap gerakan.

Nyanyiannya begitu merdu, nyanyian yang menggerakan setiap jiwa untuk bangkit, terian yang mengerakkan setiap jiwa untuk saling bereaksi, menumbuhkan benih-benih cinta dan pengharapan. Nyanyian yang setiap saat memaksa halilintar untuk menggelegar, nyanyian yang menyebabkan pipit bersiul di setiap pagi.

Kini sang abadi sedang bernyanyi, menari di dalam setiap raga yang berjiwa di dalam setiap hal yang bernyawa. Ia sedang bereksperimen dengan diri-Nya dalam tubuh setiap jiwa.

Dalam desain kehidupan, sang kreator agung menyusup dan bersembunyi dalam setiap jiwa, ia menggerakkan setiap getaran cintanya dalam waktu, sungguh setiap raga yang diliputi jiwa yang terlahir dalam kehidupan telah sempurna adanya.

Tiada yang lebih baik, tiada yang lebih buruk, semua sempurna adanya. Semuanya sedang beraksi, semuanya sedang menyanyi dan menari, bila nampak berbeda itu hanya karena tendensi sesaat sang jiwa dalam penggalan waktu, waktu terus bergulir dan setiap raga yang berjiwa mencoba untuk seimbang dalam getaran-Nya. Nyanyian-Nya tarian-Nya bergetar mengalun bersama abadinya sang waktu. Luas tak terbatas.

Ketika sang jiwa yang merupakan bayangan dari sang abadi terjebak dalam pikiran, segalanya menjadi terasa kacau, dinding-dinding pembatas mulai lahir menutupi. Pikiran mulai membatasi segala sesuatu di dalam dirinya, ia menjadi begitu perkasa hingga keberadaan sang abadi nyaris sirna. Hingga terjadilah pergumulan nan abadi antara keduanya dalam setiap jiwa, bila pikiran ada sang abadi menjadi tiada, bila pikiran tiada sang abadi akan menampakkan dirinya, sungguh permainan abadi dalam setiap jiwa.

Dalam ruangannya yang sempit, pikiran mulai beranak-pinak, ia meloncat kesana kemari, hinggap di sana hinggap di sini, setiap hal yang tersentuh olehnya akan terinveksi, pikiran membelah diri menguasainya.

Arus kehidupan terus mengalir tanpa henti, tanpa mengenal batas waktu dan sifat pertentangan, menjelma sebagai sebuah kesadaran baru yang menandai setiap pikiran sebagai tamu-tamu yang sebentar lagi akan pergi.

Terimakasih Guru, Jaya Guru Deva,

No comments:

>>>

-



-