04 August 2010

Suara Hati Kemana Engkau Pergi?



“Keramaian dunia” adalah proyeksi dari pikiran kita. Pikiran kita kacau dan kita melihat kekacauan dimana-mana. Bebas dari keramaian dunia, berarti bebas dari keramaian pikiran. Dan, untuk itu kita tidak perlu meninggalkan sesuatu. Bebas dari keramaian dunia, berarti bebas dari keramaian pikiran. Tanpa meninggalkan dunia, kita bisa terbebaskan dari keramaian dunia. Tidak perlu ke hutan. Di tengah keramaian mall pun kita bisa menyadari kehadiran-Nya.....
(Triwidodo Djokoraharjo)
 
Tentang Sungai-Ku

Sungaiku dulu begitu jernih, begitu tenang dan bening hingga kerikil dan bebatuan yang didasarnya pun tampak terlihat dengan apik dan jelas. Sungaiku dulu selalu menjadi tumpuan bagi banyak kehidupan, ada banyak udang dan kepiting menambatkan diri ditepi kiri kanannya, banyak ikan dan kerang hidup didalamnya.  Ia menghidupi banyak hal, airnya yang sejuk menyegarkan menumbuhkan setiap tanaman yang ada dikiri kanannya, mengairi areal persawahan yang luas dan menghijaukannya.

Sungaiku dulu begitu dalam, airnya berlimpah dan jernih, banyak warga sekitar dan anak-anak setiap sore mengunjunginya, untuk sekedar mencari kesejukan atau menceburkan diri untuk mandi, berenang dan bercengkrama. Dulu setiap kehidupan merindukannya menjadikannya sumber mata air yang memenuhi setiap hajat kehidupan dengan kejernihan dan keteduhannya. Aku sungguh merindukan saat-saat itu datang kembali, tapi sekian rentang waktu berjalan perubahan telah mengubah keadaan.

Berjalan sepanjang sungai, kini kudapati sungaiku mulai mengering dan tercemar. Airnya cokelat kehitam-hitaman, banyak sampah di dalamnya. Tak satupun kehidupan yang mampu bertahan didalamya. Karena air sungaiku kini telah teracuni oleh sisa-sisa kotoran dan limbah terlarang. Sungaiku kini menjadi muara bagi setiap sampah dan noda yang dihasilkan oleh ulah-ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, oleh  industri-industri yang dengan sombong telah menawarkan dan mengatasnamakan kesejahteraan. Namun semuanya semu adanya. Nyatanya di sungaiku, kini tak ada satupun yang berarti semua telah musnah. Tiada lagi denyut kehidupan.

Sungaiku kini semakin dangkal dan tidak mampu berperan lagi sebagai penampung dan penyalur air yang baik, setiap musim penghujan, banjir terjadi dimana-mana.  Air sungai meluap dan mengenangi setiap rumah dengan kotoran, dengan sampah-sampah.


Tentang Suara Hati-Ku

Untuk menyuburkan lahan jiwa manusia yang kering dan tandus yang diperlukan adalah siraman air kebijaksanaan yang lembut yang mampu menembus dan menyapa setiap pori-pori bathin untuk tumbuh, Bukan menciptakan pagar-pagar tembok aturan  yang justru mengkerdilkan dan melumpuhkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri.

Dahulu segalanya terasa begitu indah dan bermakna, setiap orang hidup rukun berdampingan, saling menghargai dan menghormati. Kehidupan yang sarat dengan nilai budi pekerti dan tradisi. Setiap orang berbagi, saling memberi dan menerima. Setiap orang menjunjung keindahan dan keberagaman. Tanpa ditekan setiap orang mengedepankan etika dan moral dalam bekerja dan berkarya.

Membangkitkan keagamaan dalam diri, berarti menumbuhkembangkan prinsip-prinsip yang memanusiakan nilai-nilai kemanusiaan dan menempatkannya pada podium tertinggi. Berada pada level ini, yg ada hanya sifat-sifat apresiatif, menghormati perbedaan dan menyadari bahwa setiap manusia adalah pribadi yg unik dan memiliki jalannya masing-masing untuk bersatu dengan Tuhan. Dan agama hanyalah salah satu manual yang diberikan keberadaan pada kehidupan.

Dahulu keindahan warna-warni pelangi selalu menghiasi setiap pelosok negeri, Tanpa membedakan status, suku, gender maupun predikat keagamaan, setiap orang saling mengasihi. Asah, asih dan asuh terhadap sesama. Keagungan budaya dan keindahan hati nurani menghiasi setiap orang, dan memupuknya menjadi sebuah tradisi tiada henti. Tidak banyak aturan yang mesti dipaksakan karena setiap orang banyak yang sadar diri, bahwa terlalu banyak aturan yang dimasukkan justeru akan mengalangi kerja setiap hati untuk memahami. Karena dengan saling menghormati berbedaan dan mengedepankan musyawarah, setiap persoalan menjadi tak berarti dan mudah diatasi.

Namun kini, segalanya mulai meredup dan nyaris punah dari pandangan. Di sana-sini yang terlihat hanya atraksi membela diri. Sentra-sentra kekuasaan materi mulai beraksi. Setiap institusi beramai-ramai mendulang korupsi, negara dibobol dan dirongrong sana-sini. Para penguasa dan ulama berkolaborasi menimbun nurani dari setiap hati dengan dogma dan janji. Lebih parah lagi berbekal kitab suci merasa paling benar sendiri, sapu sana sapu sini. Budaya asli dianggap basi, tradisi moyang dikebiri, Syariat antah berantah dipuji-puji dianggap perintah dari illahi.Di luar semua itu dianggap tak berarti.

Para politisi busuk mencoba memanipulasi, dan membatasi setiap informasi. Kebebasan berekspresi dibatasi dianggap tak sesuai tuntunan nabi. Dalil-dalil jadi senjata sakti untuk menopang keangkuhan diri. Panji-panji syariat dipasang disana-sini. Sebagai upaya yang menguntungkan bagi kelompok dan pribadi, kepentingan negeri jadi anak tiri.

Dan aku mulai mengerti, dan mulai memahami apa yang selama ini kuanggap keyakinan murni, agama pendamai hati tak lebih hanyalah permainan para politisi. Semuanya hanya berpusar pada materi. Merancang dogma dan berbagai aturan untuk mengekang diri. Aku sudah tidak bebas lagi. Ya. Banyak pandangan yang mulai membutakan kejernihan hati.

Aku tak tahu lagi, entah apa yang akan disampaikan orang kepadaku nanti, ketika aku mulai meninggalkan setiap aturan itu, kafir, sesat murtad atau apa julukan baru yang siap menanti . Tapi aku tak lagi ragu setelah melihat kehidupan, orang-orang, perilaku kekerasan atas nama yang dianggap sebagai kebenaran, dan berbagai konsep-konsepnya. Dan sekarang aroma kekerasan terlihat sedang mengacau negeriku.

Melihat itu aku harus kembali lagi bersandar pada kedalaman diri, dan  tak akan  lagi ragu berpegang teguh pada suara hati, suara nurani. Karena bagiku, Semua yang dianggap keyakinan dan kebenaran bagi seseorang semuanya hanyalah sekedar informasi yang diulang-ulang terus menerus kedalam diri seseorang tersebut. Kebenaran yang masih sebatas kerangka pribadi. Kebenaran yang masih memilah dan mengotakkan manusia bagiku bukanlah kebenaran yang hakiki. Itu hanyalah permainan persepsi.

Karena aku mulai memahami sesuatu yang kurang benarpun bila diulang secara terus menerus pada suatu kelompok masyarakat akan manjadi sebuah kebenaran bagi suatu kelompok tersebut.  Semacam program cuci otak. Coba bayangkan bila hal itu dilakukan secara repetitif dan intensif selama ribuan tahun, apa yang terjadi?

Ada beberapa kemungkinan. Ia bisa tumbuh menjadi sebuah budaya dan tradisi yang adiluhung, menjadi sebuah tradisi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam diri manusia. Nah itulah yang aku cari.

Atau bahkan ia akan tumbuh menjadi suatu agama, suatu keyakinan yang semakin menjauhkan manusia dari nilai kemanusiaan yang berada didalam dirinya? Karena hanya menyuburkan ego pribadi, dan merasa kelompoknya paling benar sendiri.
Tidak perlu pergi ke Arab, Jerusalem maupun India atau tempat lain dimanapun untuk mendapatkan kedamaian. Ketenangan dan keheningan bathin dapat ditemukan persis di kamar atau bahkan di bak mandi rumah kita.

Sejak agama telah mati, Tuhan ada dimana-mana, Ia bukan lagi monopoli masjid, gereja, wihara atau pun pura, Ia milik setiap jiwa, setiap hati.

Aaaah sungguh aku muak sekali. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya mencoba menulis menghibur hati, menjelajahi kedalaman diri. Mencoba memangkas setiap rasa iri dan dengki, dan menyadari bahwa opini ini bukti kelemahan diri. Yang sedang belajar menggapai ketenangan hati.
Lalu dimanakah suara hati itu selama ini?


Pesan indah sahabat sejati
Menjadi diri sendiri itu moksha. Jangan menganggap diri kita rendah, jangan menganggap diri kita tinggi. Just be yourself. Jadilah dirimu. Itu saja. Tidak perlu meniru orang. Dan “menjadi diri sendiri” itulah moksha—kebebasan! Kesadaran diri atau “menjadi diri sendiri” merupakan sisi lain moksha atau kebebasan. Yang menyadari dirinya akan menjadi bebas. Yang bebas akan menyadari dirinya.....

Salam damai dihati, catatan ini sekedar untuk  mengingatkan diri sendiri.

Terimakasih, Jaya Guru Deva.


No comments:

>>>

-



-