26 March 2010

Mengenali Benih Kesadaran Dalam Diri


Berdiri mematung di tengah keramaian dunia, seorang pemuda termenung terdiam seribu bahasa. Kini ia telah berada di atas mimbar, berdiri di atas altar batu yang dulu pernah ia impikan. Kini setiap jengkal gerakannya akan di sorot. Cermin-cermin kehidupan memantulkan segala tindakannya.
Sekian lama rentang waktu yang tercecer mengantarkannya pada sebuah pilihan yang mencengangkan, sebuah episode drama yang paling menentukan. Sebuah garis misterius menciptakan sebuah takdir, sebuah peran yang mesti dimainkan. Peran yang baru saja akan dimulai.

Kemarin ia tersadar bahwa meski sesaat, meski sekejap ia mesti tampil menampakkan diri, menyuarakan suara hatinya. Suara yang selama ini tersumbat, cukup sudah ia menggonggong, cukup sudah ia berdalih. Apa yang selama ini berkumandang, apa yang selama ini ia perdengarkan hanyalah suara-suara kehampaan yang memilukan.

Suara-suara hasil konflik bathin sepertinya memang di perlukan, sebelum ia bertemu kembali dengan dirinya yang sejati. Ketika potensi kesadaran diri baru memulai berproses untuk menjadi sebuah benih. Sebuah awal yang mesti disadari. Sebuah pohon kesadaran yang lebat dan berbuah, yang menjadi pelindung bagi sebuah ekosistem dulunya berasal juga dari sebuah benih yang sama.

Yang diperlukan bagi sebuah benih untuk bertumbuh adalah sebuah lahan, media yang tepat dan suasana yang kondusif. Manusia mempunyai kemampuan yang luar biasa. Apabila dalam kehidupannya dapat merubah pola pemikirannya karena menyadari jati dirinya, maka akan terjadi perubahan dalam dirinya. Pola pemikirannya akan berubah dan dia seakan mengalami pertumbuhan dan masa tanam pun siap dimulai. Benih siap di tebarkan. Sebuah benih layak menyadari bahwa pohon yang lebat dan berbuah adalah diri sejatinya.

Namun untuk bertumbuh dengan baik ia memerlukan proses panjang dan berliku. Kewarasannya akan benar-benar di uji. Sebuah benih yang telah bersentuhan dengan aliran kehidupan mesti mengalami banyak dinamika. Bukan apa-apa memang demikianlah adanya. Segala aroma alam memang sengaja dibenamkan dalam memulai sebuah benih berkembang menjadi sebuah pohon. Terik mentari, cuaca berkabut, dinginnya malam, air yang mengering, gangguan hama keadaan yang ekstrem dan berbagai proses yang lain hanyalah memastikan bahwa suatu proses adalah sebuah keniscayaan.

Keyakinan terhadap sesuatu yang agung dan pengalaman jiwa untuk melihat kebenaran dirinya merupakan proses kehidupan yang amat sederhana namun tampak menjadi begitu rumit dan terasa sulit dijangkau, hal itu terjadi karena pikiran telah membuat jarak dengan rasa. Hal itu menjadikan proses pertumbuhannya tidak alami lagi. Proses tidak selaras lagi dengan aliran kosmis. Karena hidup adalah sebuah keselarasan.
Membiarkan yang terjadi mesti terjadi merupakan langkah tercepat dalam meniti perubahan, karena satu-satunya langkah untuk mengetahui sebuah benih mampu bertahan dan berkembang adalah membiarkannya terdesak.

Kini semuanya telah terbuka dengan jelas dalam pemahaman sang pemuda, bahwa setiap hal yang menyangkut hidupnya, dimana ia dilahirkan, siapa orang tuanya, dengan siapa ia berhubungan, bagaimana kehidupannya merupakan cerminan yang nyata dari keadaan dan kekayaan jiwanya. Dimana ukuran kekayaan jiwa adalah kesiapannya dalam menerima setiap kejadian yang menimpanya sebagai prasarat mutlak untuk kembali asalnya, kembali kekesejatian dirinya.

Kehidupan adalah sebuah perjalanan yang penuh rangkaian aksi dan memiliki rentang waktu yang tak terbatas. Sehingga terlalu bodoh bila membuat batasan-batasan pencapaian pada satu titik waktu. Semua itu hanyalah pengalaman sesaat dari hasil interaksi panjang jiwa dengan sang waktu. Kebenaran sesungguhnya berada dalam proses yang tidak pernah mengenal kata berhenti.

Belajar, belajar dan belajar sesungguhnya takdir keberadaannya dalam kehidupan ini sebelum melihat semua prosesnya dalam ketawa renyah.

Semoga sang pemuda menyadari hal itu.


Jaya Gurudeva.

No comments:

>>>

-



-