05 August 2010

Dibawah Asuhan Rembulan



Oleh : Sigit Suryono
Tengadah di kaki langit, memandang awan-gumawan yang berarak. Seekor camar meliuk menukik menyusuri pusaran angin. Merentangkan sayap kecilnya, lepas bebas meluncur menderu, menjelajahi setiap ujung pandang. sebuah keleluasan murni alami selaras lembut menyusuri ketinggian, memandang segala keindahan, sebuah bentangan cakrawala luas tak berbatas.

Alam raya nan perkasa, menaburkan selaksa makna. Keindahan nan nyata yang hanya bisa didapatkan dan hanya bisa di rasakan dari ketinggian. Hijaunya hamparan persawahan, lebatnya hutan-hutan belantara, kemegahan lautan biru yang tak terkira. Berbagai keindahan maha luas yang menyatu dalam sebuah pandangan, sebuah pemahaman dari ketinggian bebas.

Hangatnya sinar mentari dipagi hari menghantarkan sang camar dalam perjalanan tak terperi, menghempaskan setiap gundah di hati. Kepakan sayap kecilnya  menggapai kaki-kaki langit. Desir-desir hangat cahaya pagi menguatkan semangat untuk melanjutkan hidup, mengarungi angkasa meniti setiap kepakan sayap dalam keheningan yang dinamis.

Menjelajahi alur angin dan menandai setiap tempat sebagai jejak-jejak, menikmati kesadaran dalam ketinggian pandang. Cuaca panas dan terik disiang hari telah menumbuhkan suburkan bulu-bulunya, mendung kelam di sore hari telah menajamkan dan menjernihkan pandangan matanya, hujan lebat di malam hari telah menguatkan otot-otot dan sayapnya, ,

Bagi sang camar, bumi telah menjadi ibunya dan ruang angkasa telah menjadi bapaknya. Dibawah bimbingan sang mentari dan asuhan rembulan, ia tumbuh dan berkembang camar kecil yang memahami rasa. Meski di langit ia sadar ia bukan yang terkuat, ia bukan apa-apa masih banyak sekumpulan elang perkasa yang siap menghempaskannya.

Sang camar yang kecil, sang camar yang mungil telah menemukan makna, telah menemukan arti hakiki keberadaannya di muka bumi. Ya ia mesti terbang menunaikan karmanya. Ia sadar hukum karma, hukum sebab akibat masih erat mengikatnya, namun ia mulai merasakan sesautu yang mendalam. Ia tak lagi resah berada dalam perputaran kalacakra.

Ya ia selama ini hanya terbang untuk mencari kesenangan, kenyamanan, hanya pergi untuk mencari biji-bijian dan sekedar beranak-pinak, laju jalannya serasa terkejar waktu. Kini ia hanya ingin hidup untuk terbang, ya terbang mencari sarang angin, mengepakkan sayapnya selaras dengan desiran lembut tarian sang bayu yang senantiasa rela mengantarkannya kepuncak-puncak ketinggian.

Selama ini sang angin, sang bayu telah memberikannya banyak pelajaran. Bagaimana ia mampu mengatasi sertiap aral dalam perjalanan dan menikmatinya sebagai hiburan keabadian. Ya ia hanya ingin terbang untuk terbang itu saja. Seperti mentari seperti rembulan ia berputar demi dharma, demi perputaran itu sendiri. Ya sang mentari dan rembulan barada dalam dharmacakra. Ia berputar karena putaran itu sendiri.

Semburat lembayung senja, mengantar kehidupan beristirahat di peraduaanya. Buih-buih embun beterbangan disela-sela awan. Menaburkan kesejukan kemuka bumi. Menaburkan mimpi-mimpi dan harapan.

Senjakala memeluk bumi, membelainya dalam dalam usapan-usapan petang yang gelap, embun-embun mulai menetes dari setiap dahan, semilir angin riuh menggoyang pucuk-pucuk cemara. Menidurkan setiap insan yang terlena.

Dalam keremangan malam nan sepi, didalam sarangnya di pucuk pepohonan, terlihat camar kecil yang sedang terdiam, sorot matanya jauh menembus langit-langit berbintang. Dalam kepasrahannya yang hening. Ia melihat sebentar lagi fajar kesadaran yang dijanjikan itu akan datang, bersama terbitnya sang surya di ufuk timur. Ya kini ia sedang berada di ambang fajar pagi. Ya tak lama lagi. Ya di sini di saat ini.


Terimakasih, Jaya Guru Deva.

No comments:

>>>

-



-